Acara Diskusi FLP mencerahkan. exmple

Blog ini masih dalam perbaikan. FLP senantiasa berkomitmen untuk menjadikan organisasi menulis ini menjadi lebih baik dan bermanfaat untuk Indonesia

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 10 November 2009

Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau

(Lomba Penulisan Karya Sastra DKR Diperpanjang)

Lomba penulisan karya sastra (naskah drama, cerpen dan puisi) Dewan Kesenian Riau yang dikemas dalam acara tahunan Laman Cipta Sastra diundur. Sebelumnya kegiatan ini direncanakan dilaksanakan tanggal 15 Juli sampai dengan 15 Oktober 2009, karena sesuatu hal pengiriman karya sastra yang diperlombakan diperpanjang sampai tanggal 15 Desember 2009. Hang Kafrawi selaku Ketua Komite sastra DKR mengatakan bahwa perpanjangan batas pingiriman karya sastra ini selain memberi peluang bagi penulis yang belum mengetahui, juga disebabkan adanya permintaan dari kawan-kawan penulis agas masa pengiriman diperpanjang. “Kita membuka peluang bagi siapa saja baik penulis di Riau, maupun penulis di luar Riau untuk berpartisipasi ikut dalam Laman Cipta Sastra DKR”, ujar Kafrawi.Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian tahun ini merupakan yang ke 11 kalinya. Pada tahun ini juga, panitia tidak membatasi peserta dari mana saja untuk ikut serta. Lomba ini terbuka bagi masyarakat Indonesia dan tentu saja sesuai dengan syarat-sayarat yang telah ditentukan oleh panitia. Adapun syarat-sayratnya sebagai berikut; peserta berdomisili di Indonesia dengan melampirkan foto kopi KTP. Karya harus asli bukan saduran bukan terjemahan dan bukan plagiat. Karya memperlihatkan upaya penggalian ekspresi dalam budaya Melayu Riau, misalnya bahasa yang digunakan dan latar belakang. Karya belum pernah dipublikasikan. Peserta maksimal mengirimkan karyanya sebanyak 3 karya. Naskah cerpen diketik 2 spasi, minimal 5 halaman maksimal 15 halaman, naskah drama diketik 2 spasi minimal 20 halaman maksimal 50 halaman, naskah puisi diketik 1 spasi, maksimal 4 halaman, dan naskah dikirim 4 rangkap. Batas pengiriman karya (stempel pos) 5 Desember 2009, dan apabila diantar langsung ke sekretariat DKR tanggal 10 Desember 2009. Naskah dikirim kepada Panitia Laman Cipta sastra DKR, Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji (Purna MTQ) Jln. Sudirman, Pekanbaru Riau. Para pemenang akan diumumkan pada tanggal 26 Desember 2009.

Untuk lomba penulisan naskah drama panitia menyediakan sagu hati pemenang I Rp 2.500.000, pemenang II Rp 2.000.000 dan pemenang III Rp 1.500.000. Untul lomba cerpen, pemenang I Rp 2.000.000, pemenang II Rp 1.500.000 dan pemenang III 1.000.000. Sementara untuk lomba penulisan puisi pemenang I Rp 1.500.000. pemenang II Rp 1.000.000 dan pemenang III Rp 750.000.

Kamis, 29 Oktober 2009

Info Prestasi

INFO PRESTASI

Selamat dan tahniah kepada rekan-rekan FLP Riau dan Pekanbaru atas prestasinya pada Ramadhan Sastra 1430 H yang ditaja oleh Bulletin Ar-Royyan Universitas Riau, dengan nominasi sebagai berikut:

Silviana Hendri (Pemenang I lomba penulisan cerpen)
Muhammad Hadi (Pemenang I lomba penulisan puisi)
Mukhlisin Albonai (Pemenang II lomba penulisan puisi)


Jumat, 28 Agustus 2009

LOMBA MENULIS CERPEN ISLAMI, PUISI RAMADHAN DAN POSTER PALESTINA
TINGKAT MAHASISWA TABLOID AR-ROYYAN UNIVERSITAS RIAU

Ketentuan umum:
1. Peserta adalah mahasiswa/I perguruan tinggi di Riau
2. Melampirkan fotocopy KTM, biodata dan biografi singkat
3. Naskah diserahkan ke sekretariat panitia; sekre UKMI Ar-Royyan Mesjid Arfaunnas Universitas Riau selambat-lambatnya 15 September 2009
4. Peserta dibenarkan mengikuti lebih dari satu jenis lomba, dan hanya boleh mengirimkan satu naskah dalam tiap lomba.
5. Naskah adalah karya asli peserta dan belum pernah dipublikasikan/ diikutlombakan sebelumnya.
6. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat
7. Naskah yang masuk menjadi hak milik panitia dan panitia berhak mempublikasikan sewktu-waktu
8. Karya tidak mengandung unsur SARA dan pornografi
9. Pengumuman pemenang tanggal 1 oktober 2009

Ketentuan khusus :
1. Tema lomba:
Cerpen : Bebas, Islam
Puisi : Ramadhan
2. Poster
a. Poster : Aku dan palestina
b. Poster dibuat dengan menggunakan program photoshop, corel draw dan sejenisnya dan diprint dikertas A4 1 lembar
c. Peserta wajib file poster ke dalam CD dalam format JPG ukuran min 2000 x 1500 pixel
3. Cerpen
a. Tema cerpen bebas islami
b. Cerpen diketik dikertas A4 dengan jenis tulisan :Tahoma, size: 10 pt, 1,5 spasi, margin 3 cm setiap sisi
c. Panjang cerpen maksimal 6 lembar
d. Naskah dibuat 2 rangkap dengan menyertakan soft copy dalam bentuk CD
3. Puisi
a. Tema : Ramadhan
b. Panjang puisi tidak terbatas
c. Puisi diketik dikertas A4, Tahoma size 10, 1.5 spasi, margin 3 cm setiap sisi
d. Naskah dibuat 2 rangkap dengan menyertakan soft copy dalam bentuk CD


Senin, 10 Agustus 2009

Cerpen Pemenang I lomba Menulis Cerpen HUT Bahana Mahasiswa 2009


Penyigi Damar
(Bambang Kariyawan Ys)


Asap obor damar meliuk-liuk bersamaan dengan gerakan liar dukun. Tabuh Bebano menghentak-hentak membunuh kebisuan malam. Ketika Bebano mulai memberikan bunyi dengung indah sang dukun pun menari dan menyanyi sambil mengelilingi pesakit. Asap kemenyan mengepul, tercium semerbak membumbung ke langit. Tariannya makin lama semakin lincah, dan nyanyian mantranya pun semakin nyaring.
Pelanduk Putih, tekial-kial
Te-joek mato, sembilan mato
Kono apo badan tejual
Togah dek adik, pemenan mato,
Kato Pelanduk *)

Aku berada di antara ritual yang membuatku harus menjaga obor damar. Obor yang menghidupi sebuah keberhasilan ritual. Bila sedikit saja aku terlelap maka gagallah ritual ini. Itulah aku si Penyigi Damar dalam ritual Bedewo.
Badewo dalam kepercayaan orang Bonai sebagai upacara pengobatan tradisional. Menurut mereka pada zaman dahulu semua Dewo berdiam di bumi, pada negeri yang bernama “Kayang Tujuhan”. Para Dewo itu dipandang sebagai penguasa, dan manusia adalah rakyatnya. Karena sesuatu hal yang menyangkut ulah manusia, maka para Dewo itu membubung ke atas meninggalkan rakyatnya. Maka bila diperlukan, mereka harus dipanggil agar turun. Upacara “memanggil” para Dewo itulah yang dikenal sebagai upacara “Bedewo”.

”Ingat, Jang. Ikuti ritual ini dengan baik. Kau tumpuan kami untuk meneruskan tradisi ini.” Kalimat itu bagiku bukanlah sebuah harapan, tapi aku rasakan sebagai belenggu. Berulang kali aku katakan pada emakku.
”Mak, aku tak ingin jadi dukun Badewo seperti bapak.”
Hanya pada emaklah aku berani mengungkapkan ketidaksukaanku. Pada bapak bukannya aku tidak berani tapi sikap memaksanya membuatku malas untuk bicara padanya. Bapak selalu menganggap kata-kata orang tua adalah perintah. Membantah adalah pembangkangan. Ketidakmampuanku mengungkapkan ketidaksukaan pada paksaan bapak membuatku limbung dalam menentukan masa depan. Pergaulan sesama temanku di kampung, di sekolah kadang menjadikan bahan cemoohan.
”Anak dukun, ya harus jadi dukun.”

Kalimat-kalimat itu membuatku makin terpuruk dalam ketidakpercayaan diri. Ketika teman-temanku menata diri untuk kuliah mengambil beragam jurusan di perguruan tinggi, sedang aku?
”Kau tidak perlu kuliah, kau harus mewarisi ilmu Badewo Bapak. Cukup dengan ilmu ini dan kebun karet untuk hidup kau.”
Selalu itu alasan yang disampaikan. Aku tahu untuk urusan perut bapakku termasuk orang berpunya di kampungku. Dengan kebun karet berhektar-hektar membuat kami dipandang oleh masyarakat.
”Malam ini, kau ikut Bapak. Kita akan Badewo, anak kepala desa sakit keras, teman kau tuh. Dokter dah angkat tangan. Entah sakit apa kiranya. Siapkan obor damar kau. Jaga obor damar kau.”
”Pak, besok Ujang mau ujian sekolah.”
”Jadi kau mau apa?! Coba-coba membangkang?! Ingat Jang, berapa kali aku cakap. Kau harus menjadi pewaris ilmuku. Jadi kau harus mendahulukan setiap ada acara Badewo, batalkan yang lain.”
Aku hanya bisa memandang emakku yang juga tak berdaya untuk memberikan alasan. Kutangkap bahasa teduh mata emak.
”Ikut ajalah Jang, tak guna membantah bapak kau tuh.”
Kusiapkan obor damarku dengan terpaksa. Kupandangi obor damarku yang begitu setianya menemani. Damar yang kudapatkan dari getah kayu hutan yang telah membeku dan berbungkah-bungkah dan bercerai-berai ini kugulung dengan upih pinang sebesar lengan, kemudian kuikat dengan tali. Kusiapkan penjepit kayu untuk menampung dalam tadah agar arangnya tidak berceceran di lantai.. Kuisi lubang minyak damarnya. Dengan langkah yang kupaksakan menuju halaman menemui bapak yang telah siap-siap berangkat.

”Dah, kau siapkan semua? Tak boleh ada yang tinggal.” Tanya sekaligus perintahnya yang sering kudengar setiap kali mengajakku untuk berbadewo. Pikiran bercabang-cabang antara ujian di esok pagi dan tugas menyigi damar malam ini. Acara yang selalu dilaksanakan malam hari ini selalu memakan waktu sampai subuh hari. Dipercaya, bahwa pada siang hari para Dewo itu tidur. Karena itu bila ingin berurusan dengannya, haruslah pada malam hari. Setiba di rumah pak kades kutemukan orang-orang yang biasa menemani bapak berbadewo.

Ruangan pengobatan telah disiapkan dalam keremangan rembulan malam yang mencuri masuk lewat jendela. Pedupaan untuk membakar kemenyan dengan bara api yang di alas dengan abu. “Selendang” pucuk kepau yang telah dirangkai menjadi beragam bunga dan hiasan. Tukang tabuh Bebano pun telah siap dengan Bebanonya.
Ritual diawali dengan menilik. Bapak menaburkan bertih ke dalam pinggan berisi air, yang dimantrainya lalu ditutup. Setelah menunggu sejenak, bapak membuka dan posisi bertih yang merapung di air diperhatikan oleh bapak dengan seksama.
Bapak mulai menari dan menyanyikan mantra-mantra sampai kesurupan. Biasanya kalau sudah seperti ini berarti dunia magi telah menghampirinya.Bapak melihat semuanya dalam keadaan terbalik, kepala ke bawah dan kaki ke atas, dan semuanya bertelanjang bulat. Makanya aku si penyigi damar dan tukang tabuh Bebano haruslah seorang laki-laki.

Dingin malam membelai mataku dan membuat mataku melelap dan spontan membuat obor terjatuh dan padam sesaat. Keterkejutanku membuat sebuah teriakan keras suara bapak.
”Siaalll!!!”
Aku hanya mematung. Aku tersadar dari kantuk dan tak tahu lagi membayangkan merahnya wajah bapak. Bola matanya menjadi panah api yang siap menghujam ke dalam jantungku. Sebuah tamparan keras mendarat. Semua mata menusuk bola mataku. Aku tak mampu menengadakan wajahku. Sebuah tragedi telah menanti.
”Ujang, pulang kau!!” Kembali teriakan itu bergema.
Aku berlari meninggalkan obor damar dan melewati wajah-wajah marah.
”Kau harus bertanggung jawab kalau ada apa-apa dengan anak ini.”
Aku tidak peduli lagi, yang aku lakukan berlari menuju rumah. Gelap malam membenamkanku dalam kelam. Bunyi jangkrik malam mengejekku dengan bunyinya menertawakan kebodohanku.

”Aku harus buat keputusan.” Entah keputusan apa yang harus kupilih, yang penting kaki ini segera kembali ke rumah. Hawa rumahku telah menyambutku. Terasa panas. Aku menuju kamar dan kukemasi baju alakadarnya. Saat ini aku hanya ingin terbang sejauh mungkin. Aku takkan mampu menerima kemarahan bapak. Namun dari keremangan lampu kamar kusempat melihat wajah emak yang telah lelap dan lelah menemani lelaki yang disebutnya suami yang tidak bisa dikalahkan oleh kata-kata nasehat. Sebutir air mata meluncur.

”Mak, Ujang pergi,” ucapku lirih.
Ketika langkah gontai ini meninggalkan wajah lelah emak, seketika itu pula teriakan mampir di telinga.
”Mau kemana kau?!!”
Obor damar yang tadi sempat menjadi bencana diayunkan ke arahku. Namun entah dari arah mana tiba-tiba emak ingin melindungiku dan dengan sekali libas obor damar menghantam kepala emak.
”Emak!!!” Aku dan bapak berteriak hampir bersamaan.
Teriakanku teriakan gelombang amarah. Teriakan bapak teriakan ketakutan. Aku rangkul emak yang berlumuran darah di kepalanya.
”Puas bapak!!??” Entah keberanian darimana aku berani mengucapkan kalimat perlawanan itu.
”Jawab pak!!! Jawab!!!” Paksaku. Kulihat wajah bapak yang biasanya angkuh kali ini wajah itu wajah sayu penyesalan.
”Emakkk!!!” Seketika itu pula tubuh emak mendingin beku.



Keterangan:
*) Pelanduk Putih, terkial-kial
Terjerat mata, sembilan mata
Karena apa badan terjual
Karena adik permainan mata,
Kata Pelanduk




Bambang Kariyawan Ys.
Ketua Bidang Fiksi dan Non Fiksi FLP Riau



Sabtu, 08 Agustus 2009

INFO PRESTASI


INFO PRESTASI

Tahniah untuk rekan-rekan FLP Riau yang baru saja memperoleh prestasi, atas nama:
1. Indra Purnama (staf Danus FLP Riau) sebagai pemenang III lomba menulis artikel “Stop Global Warming” kategori umum dan mahasiswa Harian Riau Mandiri, Agustus 2009
2. Sugiarti (Staf Humas FLP Riau) sebagai pemenang I lomba menulis resensi “Pesta Riau Sejuta Buku” Bandar Serai MTQ Pekanbaru.
Semoga kemenangan ini menjadi api penyemangat perjunagan dakwah kepenulisan di bumi Lancang kuning, insyaallah.


Selasa, 28 Juli 2009

INFO PRESTASI


INFO PRESTASI

*Tahniah kepada rekan-rekan FLP Riau dan Pekanbaru atas prestasinya memenangkan lomba Penulisan Cerpen HUT LPM Bahana Mahasiswa Universitas Riau Juli 2009, atas nama:

Bambang Karyawan (Fiksi non Fiksi FLP Riau), Juara 1 lomba penulisan cerpen
Ahmad Ijazi (Fiksi non Fiksi FLP Pekanbaru), Juara III Lomba penulisan cerpen

*Tahniah atas diwisudanya rekan-rekan pengurus FLP Riau, atas nama:

Satri Handayani (18 Juli 2009), kaderisasi FLP Riau
Sugiarti (25 Juli 2009), Humas FLP Riau


Agenda FLP Riau

FLP Riau dan B-Ar Taja
Launching dan Bedah Buku ‘Lets Update Your Life’


Forum Lingkar Pena (FLP) Riau kembali berkarya. Tepatnya Sabtu 18 Juli 2009 lalu bekerjasama dengan Bulletin Ar-Royyan (B-Ar) Universitas Riau FLP Riau kembali melakukan launching dan bedah buku karya pengurus FLP Riau. Kegiatan yang dipusatkan di auditorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Riau (UNRI) ini menghadirkan Chainulfiffah dekan FMIPA (UNRI), Aswirman dan Wamdi ketua FLP Riau.

Di hadapan ratusan peserta, Muflih Helmi selaku ketua panitia pelaksana yang juga Pimpinan redaksi B-Ar menegaskan bahwa kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka menyuburkan iklim menulis di kalangan mahasiswa di samping sebagai apresiasi terhadap karya penulis. Hal senada juga diungkapkan Wamdi ketua FLP Riau, ”Dengan telah dilaunchingnya buku almarhumah Intan Amlan merupakan bukti eksistensi beliau sebagai salah seorang penduduk bumi yang diperhitungkan keberadaannya. Bagi kita yang masih memiliki sisa umur semoga menjadi lecutan untuk lebih banyak berkarya lagi hingga masyarakat rela ketika kita telah tiada” ungkap Wamdi usai acara. Buku bertajuk Let’s Update Your Life yang berisi tentang motivasi spiritual ini memberikan kesan yang cukup monumental bagi semua pihak. Tepatnya 5 April 2009 lalu, penulis buku tersebut Ruwaida Mutia alias Intan Amlan yang tercatat sebagai anggota divisi humas (2008-2010) FLP Riau berpulang ke rahmatullah. “Ini merupakan karya yang kesekian kali, yang dilaunching oleh FLP Riau” ujar Joni Lis Effendi, Dewan Penulis FLP Riau.

Acara launching disusul dengan bedah buku hangat yang dipandu langsung oleh Agus Yoni selaku Gubernur Mahasiswa FKIP UNRI, diskusi juga diselingi dengan pembacaan sajak oleh Andri anggota sekolah menulis Komunitas Paragraf Pekanbaru, pemutaran film dokumenter perjalanan almarhumah penulis, dan pembagian door prize buku dari pihak sponsor toko buku Zannafa. Turut hadir pula dalam kegiatan ini segenap keluarga penulis, Dewan Penulis FLP Riau Joni Lis Effendi, Pembantu Dekan III FMIPA UNRI Rolan Pane, para kru Bulletin Ar-Royyan dan pengurus FLP cabang Pekanbaru dan wilayah Riau. (Naf)



Minggu, 05 Juli 2009




Kamis, 25 Juni 2009

Ucapan Tahniah




Selasa, 23 Juni 2009

Info FLP Riau


INFO BUKU TERBARU


Telah beredar di pasaran, Buku karya pahlawan pena FLP Riau Intan Amlan berjudul “LET’S UPDATE YOUR LIFE” cetakan pertama Juni 2009. Buku full motivasi ini dijual seharga Rp.26.000,- di pasaran. Untuk pemesanan hubungi: Wita 085265903737.

Dapatkan segera!!!. Nantikan pula Bedah buku dan launching resmi dari FLP Riau. Segeraaa!!! hanya di FLP Riau.



Kamis, 18 Juni 2009

Pelatihan Blog


INFO KEGIATAN

Sebagai salah satu apresiasi terhadap pentingnya akses penyebaran nilai-nilai pencerahan di dunia maya, maka Forum Lingkar Pena Riau bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena Pekanbaru dan Bulletin Ar-Royyan UR mengadakan pelatihan desain blog dengan ketentuan sebagai berikut;
1. Pelatihan dilaksanakan pada hari ahad, 21 Juni 2009 pukul 13.30 s/d 15.30 Wib On time, bertempat di labor komputer Fakultas Pertanian UR.
2. Peserta terbatas untuk 20 orang (kondisional dengan ketersediaan unit komputer)
3. Biaya adm senilai Rp.10.000,- selambat-lambatnya diserahkan sebelum pelatihan dimulai.
4. Kepada para peserta yang belum memiliki blog, minimal diwajibkan telah memiliki email yang sudah/ masih aktif.
5. Pendaftaran rekan-rekan FLP Pekanbaru ke saudara/i Hadi dan Desi.
6. Untuk informasi selengkapnya silahkan hubungi: 085278740869



Sabtu, 06 Juni 2009

CERPEN


Anak Air Asin

(Bambang Kariyawan)
Pemenang Jarapan Utama Lomba Menulis Cerpen Remaja ROHTO
Tingkat Nasional 2008



Sampan-sampan bergerak perlahan menyusuri tepian laut yang dihiasi rimbunan bakau, lambaian kelapa, dan tiupan cemara laut. Gerakannya perlahan seiring tiupan angin dan arus laut. Sampan-sampan yang mempunyai kajang, itulah istilah untuk menyebut sampan yang di atasnya diberi sirap atau atap dari daun kelapa. Kesehariannya kajang dijadikan rumah untuk bertempat tinggal. Beragam kegiatan manusia dilakukan di atas sampan tersebut mulai dari mandi, masak, tidur, dan kegiatan lainnya. Selama ratusan tahun, Suku Laut benar-benar menjadi ”manusia perahu”, yang hidup di atas perahu. Bagi mereka, laut adalah segala-galanya. Laut adalah ”rumah” yang memberikan naungan sekaligus kemerdekaan hidup.
Di salah satu sudut sungai Pulau Ngenang, Batam yang di tumbuhi hutan bakau dan hamparan pantainya terlihat seorang anak berusia sekitar 13 tahun sedang mengayuh sampan dan sesekali terlihat menebarkan jaringnya. Tebaran jaring sebuah keindahan ketika menyatu dengan hamparan biru laut dan membawa pancaran mata-mata harapan saat ikan-ikan menari-nari untuk memberikan kehidupan bagi yang menangkapnya.
”Atan... tolong carikan air tawar ya nak?” suara seorang emak memanggil anak lelakinya yang mulai beranjak remaja yang sedang memilah-milah ikan-ikan dan hasil laut lainnya.
“Iya mak,” Atan menjawab sambil mencari di hamparan laut kemungkinan ada tanda-tanda yang berbeda dari warna air laut yang lainnya berarti itulah tandanya ada air tawar. Atan dengan sigap mencari air tawar untuk emaknya dan sekaligus membawakan penyu dan teripang sebagai bahan makanan dan sekaligus untuk dijual.
”Hebat sekali anak emak ini, kau memang anak air asin kebanggaan kami, banyak teripang yang didapat, jangan lupa bawa ke darat jual sama tauke Cina tuh, cukuplah uangnya untuk beli beras dan sayuran,” kata emak sambil meminta Atan menuangkan air tawarnya ke dalam ember untuk minum.
”Penyu ini dimasak apa mak?”
”Nanti emak goreng dan buatkan sambal untuk kau tuh.”
Penyu merupakan salah satu hewan "cantik" di dasar laut. Bagi Suku Laut, para nelayan yang hidup nomaden penyu termasuk salah satu hewan laut yang mudah ditangkap. Bukan dijaring, tetapi ditombak. Mata tombak diikatkan pada sebuah tali dan diletakkan di ujung kayu. Setelah mata tombak ditancapkan ke penyu, tali pun ditarik.
***
Masyarakat Suku Laut memang masih dianggap sebagai masyarakat pedalaman bagi penduduk Kepulauan Riau. Peneliti Eropa dan Amerika menyebut mereka Gipsi Laut karena mereka hidup di atas perahu-perahu yang bergerombolan di lautan.
”Pak, mengapa kita tidak tinggal di rumah seperti yang ada di pantai?”
”Orang seperti kita takut melihat atap rumah yang tinggi Atan, kita sudah terbiasa tinggal di kajang yang atapnya pendek,” jelas bapak Atan.
Hari itu tetangga sampan sebelah bapak Atan ada yang akan melahirkan. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat bila seorang perempuan akan melahirkan maka dibawa ke darat untuk dilanjutkan prosesnya oleh dukun beranak atau kini oleh bidan desa. Pada saat bersamaan ada juga yang akan melangsungkan perkawinan. Semua tetap berlangsung di darat. Ada tradisi unik yang mereka pelihara dengan mensakralkan binatang anjing. Anjing dalam adat perkawinan Suku Laut ditempatkan di tangga masuk rumah mempelai laki-laki. Anjing yang digunakan juga harus anjing yang berbulu hitam.
“Kami sendiri tidak tahu-menahu mengapa harus anjing yang berbulu hitam
yang digunakan dalam adat perkawinan. Tetapi secara turun-temurun, anjing yang berbulu hitamlah yang menentukan sah atau tidaknya sebuah perkawinan,” ujar Tetua Suku Laut kepada Atan suatu ketika.
Pada saat mempelai perempuan menginjakkan kakinya di rumah mempelai laki-laki, sesepuh adat akan memukul anjing tersebut. Jika anjing yang dipukul itu langsung menggonggong, pernikahan dinyatakan sah. Tetapi kalau anjing yang dipukul tidak menggonggong, pernikahan pun tidak terjadi karena dianggap tidak sah.
“Itu pernah terjadi dan pernikahan dibatalkan karena anjing tidak menggonggong waktu dipukul. Itu tidak sah,” lanjut Tetua Suku Laut.
***
Atan sebagai mana anak laut yang lain pun masih sering berinteraksi dengan anak-anak seusia di darat. Kadang bermain bola, memanjat kelapa, menangkap ikan, dan kegiatan anak-anak lain yang menyenangkan untuk usianya. Kebetulan sebuah sekolah dasar terletak di tepi pantai, dan kadang Atan sempat melihat teman-temannya memakai seragam merah putih.
”Mak, boleh Atan sekolah seperti teman-teman Atan?”
”Tanyalah sama Bapak dulu, boleh atau tidak.” Atan berusaha meyakinkan bapaknya agar Atan bisa ikut bersekolah.
”Untuk apa Atan sekolah, anak laut itu yang paling penting bisa menangkap ikan, mencari penyu, mencari teripang. Tak perlu sekolahlah karena hal-hal seperti itu tidak akan ada kau dapat di sekolah.”
”Tapi Atan ingin Pak.”
”Sudahlah jangan mimpi yang macam-macam.”
***
Hari itu Atan kembali ke darat untuk bermain bersama teman-temannya, kali ini mereka bermain bersama Pak Budi, yang biasa mereka panggil dengan sebutan Pak Guru. Selesai bermain Pak Guru mengajak mereka berkumpul. Mereka ada rencana untuk mengelilingi pulau-pulau sekitar dengan menggunakan kapal kaya yang oleh penduduk setempat disebut dengan ”Pong Pong” setelah itu mampir sebentar ke Batam. Atan pun memberanikan diri menemui Pak Guru untuk bergabung dan menyatakan keinginannya untuk ikut dalam acara tersebut.
”Wah, boleh saja Atan akan bisa membantu kami dalam menunjukkan tempat-tempat yang belum temanmu kenal.”
’Tapi saya tidak punya uang banyak Pak.”
”Tidak usah dipikirkan.”
Kebahagiaan begitu dirasakan dalam diri Atan. Sesampainya di sampan, Atan menceritakan pengalamannya kepada bapaknya dan meyakinkan kalau kegiatan tersebut tidak memerlukan uang.
”Ya sudah pergilah, tapi ingat Bapak tidak bisa membawakan apa-apa.”
***
Hari itu dengan segenap hati yang membuncah bahagia, Atan berkumpul bersama teman-teman yang sangat peduli dengan keberadaan orang-orang seperti Atan, apalagi Pak Guru yang ternyata sangat antusias untuk memajukan pendidikan di pulau sekitar tempat Atan tinggal. Serombongan anak-anak kecil yang bahagia menuju ke sebuah pong pong yang diperkirakan dapat memuat penumpang sekitar 20 orang. Hamparan laut yang biru dan hijaunya pulau-pulau kecil, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Kubung, dan Pulau Todak menjadi pemandangan dan perpaduan warna keteduhan. Keasyikan tak tertahankan ketika pong pong kami menelusuri pulau demi pulau Dan sejenak kami singgah di sebuah pulau yang disebut orang Air Raja. Di tepi pantai Atan seperti nalurinya memanggil untuk menanggap kepiting dan ikan-ikan serta kerang yang ada.
”Hebat kamu Tan, lumayan untuk menambah bekal diperjalanan.”
Ketika pong pong berlabuh di pelabuhan Sekupang Batam, serombongan siswa dan Pak Guru memasuki kota Batam yang kata orang surganya pencari kerja. Atan terkagum-kagum melihat kendaraan dan kota yang begitu moderen. Jalan-jalan beraspal, gedung-gedung menjulang, perumahan tersusun rapi dengan beragam tipe, benar-benar sebuah kemajuan.
”Kira-kira apa ya Pak, yang menyebabkan Batam menjadi begitu maju?”
”Karena banyak orang pintar di Batam”
”Biar bisa pintar bagaimana caranya Pak?”
”Atan harus rajin belajar.”
”Belajar ya Pak.”
”Iya, belajar. Salah satunya Atan harus bisa belajar membaca dan menulis. Dan karena Atan pintar melaut, maka pelajari ilmu melaut itu dengan sungguh-sungguh.”
Nasehat tersebut begitu merasuk ke dalam pikiran Atan. Sekembalinya dari Batam, muncul tekad untuk mengubah dirinya.
”Aku harus bisa membaca dan menulis, dan aku ingin belajar ilmu melaut dengan sungguh-sungguh.”
***
Sejak itu, selalu saja ada waktu bagi Atan untuk belajar melaut dari orang-orang tua Suku Laut dan Atan selalu meminta nasehat kepada Pak Guru bagaimana mengembangkan ilmu melautnya. Pak Guru menunjukkan bahkan mengajaknya pergi ke instansi terkait. Dan di sela-sela itu Atan selau menyempatkan untuk belajar membaca dan menulis. Bahkan dengan tidak malu-malu dengan ilmu yang sedikit tersebut Atan mengajak teman-temannya sesama suku laut untuk mau belajar membaca dan menulis.
”Anak laut itu yang penting bisa melaut, tidak perlu yang namanya sekolah,” salah seorang bapak bicara pada anaknya.
Walau banyak kontroversi dari orang tua teman-temannya namun dengan kesabaran dan ketekunan niat tersebut tetap dijalankannya. Bahkan Atan sering mengajak teman-temannya untuk sedikit demi sedikit mengubah pola melaut yang selama ini dijalankan orang tua mereka yang ternyata tidak mendatangkan keuntungan hanya untuk kebutuhan saja.
”Teman-teman, orang-orang seperti kita punya kelebihan dalam menangkap ikan, mari kita buat lebih baik dalam menangkap ikannya bukan hanya untuk diri kita. Mari kita buat tambak dan kelong untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Hasilnya bisa kita buat untuk sekolah. Anak laut harus sekolah,” nasehat Atan pada teman-teman yang mau bergabung dengannya.
***
Namun Atan ternyata dimarahi habis-habisan orang Tetua Suku Laut karena dianggap melanggar adat mereka dan tidak menghargai orang-orang tua mereka Bahkan Atan diminta untuk pergi dari masyarakat tempat mereka tinggal dan boleh kembali setelah tidak melakukan hal-hal yang aneh lagi.
”Bapak Atan, nasehati anak awak tuh, sebelum kami mengusir dengan kasar, kami minta Atan untuk pergi ke pulau seberang saja. Kalau tidak masyarakat Suku Laut akan rusak dengan cara anak awak tuh melaut,” tegas Tetua Suku Laut pada bapak Atan yang tidak bisa berbuat apa-apa dihadapan orang yang memang harus mereka patuhi.
”Emak, Atan pergi ke seberang saja,” pinta Atan pada emaknya. Walau dengan rasa berat hati bapak dan emaknya karena Tetua Suku Laut harus dipatuhi maka keputusan Atan ke pulau seberang harus disetujui.
Atan ditampung di rumah Pak Guru. Belajar membaca dan menulis makin giat. Dan keterampilan Atan melaut dikembangkan di pantai tempat tinggal barunya bersama Pak Guru. Masyarakat sangat menghargai usaha Atan mengingat kesibukan mereka bekerja untuk urusan ikan mereka mendapat bantuan dari Atan bahkan tidak sekedar ikan, bermacam makanan hewan laut bisa didapatkannya.
Ketekunannya tidak hanya sampai di situ. Dari hari ke hari disela-sela melaut, Atan menyempatkan diri ke hutan mengumpulkan kayu-kayu. Atan dengan tekunnya membuat kelong baru yang besar sekali ukurannnya, lengkap dengan rumah singgahnya.
***
Perjalanan waktu menempah kedewasaan Atan menapaki hidup. Ada saat-saat bekerja. Ada saat-saat melepas segenap kelelahan. Ada saat-saat Pak Guru menangkap kerinduan di wajah Atan kalau ia ingin bertemu dengan orang tuanya.
”Aku harus berbuat sesuatu,” pikir Pak Guru.
Pak Guru membawa petugas dari Dinas Perikanan untuk melakukan penyuluhan di tempat orang tua Atan. Di sela-sela acara penyuluhan, Pak Guru terlihat berbincang-bincang dengan sebuah keluarga dengan terlihat ekspresi gembira dan keharuan di wajah keluarga tersebut.
Seminggu kemudian,
Di sebuah kelong baru, ”Inilah kelong dan rumah yang dipersembahkan untuk Bapak dan Ibu,” jelas Pak Guru pada kedua orang tua Atan yang memancarkan wajah-wajah haru dan bahagia.
Emak Atan, ”Dimana Atan sekarang Pak Guru?”
”Anak air asin, disini Emak,” keluarlah Atan dari dalam rumah kelong tersebut.
Tanpa mengucapkan banyak kata. Atan pun berhambur memeluk kedua orang tuanya.

Catatan:
Anak air asin: sebutan anak suku laut




























Sabtu, 30 Mei 2009

OPINI


Goresan Kebenaran
Oleh: Wamdi*


“Saat aku lelah menulis dan membaca
di atas buku-buku letakkan kepala
dan saat pipiku menyentuh sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah,
bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?”
(Imam An-Nawawi)

Apa yang menyentak-nyentak hati mereka, sehingga tergugah mengunjungi sang guru walaupun telah berdiam di balik jeruji besi? Tiada lain selain kebenaran qaul (ucapan) dan upaya membumikannya, sehingga ia tumbuh laksana pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan pucuknya menjulang ke langit. Kata-kata yang tak menuai pelapukan tatkala hujan dan tak mengalami kelekangan di musim panas. Ia tempat si musafir bernaung dari sengatan sang surya, payung raksasa manakala hujan. Di akarnya mereka bersila, di batangnya mereka bersandar, dan memetik buah ranum manakala lapar.


”Madza sana’mal lakum, ya ustazina? (Apa yang bisa kami lakukan untuk anda wahai guru?”
”Tolong berikan padaku arang-arang yang berserak di luar itu,” jawab sang guru dengan suara agak melemah karena diguras penyiksaan dari hari ke hari. Lewat goresan arang-arang tersebutlah lahir karya-karya monumental yang menjadi referensi bagi generasi berikutnya dan orang yang mereka panggil guru tersebut adalah Syekh Imam Ibnu Taimiyah rohimallahu.

Tradisi menulis di kalangan para ulama – tepatnya di kalangan umat Islam – bukanlah hal yang baru. Ini terlihat dari kitab-kitab yang menjadi bahan rujukan para pengajar, santri di pesantren-pesantren, universitas-universitas dan tempat pengajian lainnya. Tulisan-tulisan para ulama tersebut menjadi referensi karya ilmiah.
Lalu pertanyaannya, apa yang membuat goresan tinta mereka ’abadi’ sebagai rujukan? Jawabannya tentu keikhlasan, ya keikhlasan menuliskan kebenaran. Mereka adalah para dai yang memahami keterbatasan usia. Mengerti muhimmah (urgensi) yang dipendam dalam sebuah tulisan. Maka asimilasi keterbatasan usia dan urgensi sebuah tulisan inilah yang menggerak pribadi-pribadi mereka untuk selalu menelurkan karya yang pada akhirnya akan menetas menjadi kebenaran yang melintasi generasi, teritorial di mana mereka sendiri tak pernah hadir di sana.

Lihatlah Sayid Qutb dengan Tafsir Fi Zhilalil Qur`an dan Maalim Fit Thariqnya, HAMKA dengan tafsir Al-Azharnya. Karya-karya tersebut terlahir di balik jeruji besi. Sayid Qutb yang ditahan Gamal Abdul Nasser karena dituduh melakukan egitasi Antipemerintah, HAMKA yang dianggap sebagai penghianat pada tanah air. Namun, mari kita dengarkan apa yang dikatakan HAMKA, “Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak istri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Al Qur’anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati. Masa terpencil dua tahun telah saya pergunakan untuk sebaik-baiknya.”

Raga mereka boleh saja disiksa, namun jiwa mereka adalah jiwa yang merdeka. Fisik mereka bisa saja dikungkung, namun nuraninya terbang sebebas-bebasnya. Jasad mereka memang didera penderitaan tiadatara, namun gagasan dan ide besar mereka telah melanglangbuana menembus selat dan benua. Seperti yang dikatakan Abdullah Azzam, “Sejarah Islam ditulis dengan hitamnya tinta ulama dan merah darahnya para syuhada.”

*Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Riau




Jumat, 22 Mei 2009

Juara I Lomba Puisi UNILAK


BUDAK-BUDAK BERKELINDAN
(Bambang Kariyawan)
Juara I Lomba Cipta Puisi Laman Sastra UNILAK


Budak-budak berceloteh bisu ungu dalam riuhmu
Riuh rendah membicarakan Semenanjung Bumi Bertuah yang semakin murung
Celoteh tentang peperangan ombak yang galau dan pantai yang terendam
Pantai-pantai putih yang telah langkah untuk dijejak
Pelabuhan-pelabuhan kayu murung meranggas patah
Gemuruh ombak menjadi tontonan bukan sahabat lagi
Budak-budak berseloroh menghempas dalam buihmu
Seloroh tentang pasir-pasir yang berlarian ke negeri seberang
Karang-karang termangu menggulung kenangan yang mengigau
Seloroh gesekan nyiur dan cemara laut yang gelagapan menerima kedatangan orang-orang tak dikenal
Budak-budak bertutur abu-abu sunyiku dalam gelombangmu
Sunyi menepi dari perahu kelam yang semamput
Sesak kalap mendayung badai
Tutur kelong dalam kehampaan jelaga malam yang membeku
Nelayan-nelayan menjadi gagu menyaksikan laut telah lebam
Budak-budak bersenandung malamku terpias dalam buliran riakmu
Riak-riak gelombang telah berkarat menghempas di pantai yang layu
Senandung angin berpusaran menimbah siang dalam hitungan angin
Cemara laut telah bisu mendiamkan angin
Mencari rimbunan bakau yang tersembunyi mengganti harapan yang telah memutih
Budak-budak berkelindan dalam laut yang diam. Budak-budak bercengkerama dalam senandung camar. Tak habis pusaran membeliung dalam hitungan senja.
Hingga palung hatiku menjerembabkanku dalam irisan sunyi.


Guru SMA Cendana Pekanbaru
Komplek Palem PT. CPI Rumbai
085265437316



Juara I Lomba cerpen UNILAK


Kemelut Api Dendam

Oleh Ahmad Ijazi H

Mata wanita itu menyala bak kobaran api bergejolak. Hujaman perih kian bertubi-tubi tak kunjung reda mengoyak batinnya. Letupan dendam kian mengamuk, membunuh rasa iba yang berkelebat di pelupuk mata. Wanita itu menyeringai dengan dengus menderu, bak serigala haus darah. Terik mentari yang membakar paras, menganaksungaikan peluh di wajah. Wanita itu tak peduli. Sorot mata tajamnya terus mengekor langkah kaki seorang muslimah yang baru saja keluar dari mobil mewah. Seorang gadis kecil berumur 10 tahun tertawa riang di sampingnya. Tampak begitu ceria. Melihatnya, hati wanita itu kian tercabik-cabik. Serasa ditikam pisau berkarat, perih tak terperi! Samapai kapan pun dia tak akan pernah rela muslimah itu mengecap bahagia. Muslimah itu telah merenggut suaminya! Membuat hidupnya dan keluarganya menderita!

Dua tahun silam. Belati beracun telah torehkan luka menganga di jantungnya. Luka itu tak kunjung sembuh, bahkan kian parah! Dia takkan pernah terlupa. Saat suaminya menceraikannya. Dia dituduh berselingkuh dengan majikannya sendiri.

Wanita itu memang pekerja keras, menjadi pembantu rumah tangga harian. Pergi pagi pulang malam. Beban keluarga yang ditanggungnya teramat berat. Dia harus menghidupi dua anak gadisnya: Rahma dan Laila yang bersekolah di SMP dan SMA, juga bundanya yang sering sakit-sakitan. Sementara suaminya pengangguran dan suka berjudi. Terkadang suaminya itu pergi tak tentu tujuan, lalu pulang dalam keadaan teler. Dua anak gadinya sering menjadi pelampiasan amarahnya. Tamparan dan pukulan sering mendarat di wajah kedua anaknya itu. Sementara pemilik kedai di seberang rumahnya sering bertandang kepadanya menagih hutang suaminya yang menggunung.

Wanita itu terpaksa bekerja lebih keras untuk mendapat upah lebih. Dia bekerja dari pagi, hingga pulang pagi pula. Suaminya berang karena dia tak pernah di rumah. Dia dituduh berselingkuh dengan majikannya! Dia dicerai paksa oleh suaminya, lalu diusir dari rumah. Begitu pun ibunya yang sering sakit-sakitan, diusir pula oleh suaminya dengan keji karena dianggap menyusahkan. Wanita itu mengontrak rumah. Di sana dia terus berjuang keras menghidupi keluarga, terutama untuk memenuhi biaya sekolah dua anak gadisnya. Sebenarnya dua anak gadisnya itu berkeinginan untuk tinggal bersama wanita itu, namun suaminya melarangnya.

Hati wanita itu kian terkoyak-koyak perih saat mendengar suaminya menikah lagi dengan seorang janda kaya-raya beranak satu. Dan luka di jantungnya kian menganga lebar saat dia mengetahui dua anak gadisnya telah dijual oleh suaminya kepada seorang pengusaha kaya untuk dijadikan wanita penghibur di sebuah klab malam. Seribu tikaman belati beracun seakan telah membuat hidupnya sekarat, namun dia tak bisa mati. Dia terus hidup dalam kubang derita yang teramat menyakitkan!

Sebulan kemudian, wanita itu mendapat kabar bahwa anak sulungnya, Laila, ditemukan tewas gantung diri di sebuah kamar hotel! Laila depresi, mengalami goncangan jiwa. Siang malam dia harus melayani nafsu bejat puluhan lelaki hidung belang. Dia tak kuat. Derita yang ditanggungnya teramat berat. Sampai akhirnya dia ditemukan tewas di dalam sebuah kamar hotel dengan seutas tali mejerat leher!

Bagai dirajam sejuta sembilu, wanita itu tak kuasa menanggung derita yang semakin bertubi-tubi. Dia tak kuat rasanya terus melangkah dalam kemelut badai yang kian dahsyat menerpa hidupnya. Apalagi saat dia kemudian harus menerima kenyataan pahit untuk kedua kalinya bahwa Rahma, satu-satunya anak yang menjadi harapan hidupnya itu, harus pula meregang nyawa, tewas dengan keadaan yang sangat mengenaskan di tiang gantuangan, dengan seutas tali menjerat leher!

Wanita itu sesengukkan. Air matanya kian deras berjatuhan. Letupan dendam kian menyala, berkobar menjilat-jilat di relung hatinya. Sorot mata wanita itu kian tajam memaku sosok muslimah yang tengah duduk di bangku taman. Binar mata muslimah yang teduh itu memperlihatkan betapa bahagianya dia mendekap sang buah hati dengan penuh rasa cinta.

Rahang wanita itu kian bergemeletak. Dia mendengus dengan amarah berapi-api. “Sampai mati pun aku tak kan pernah rela melihatnya hidup bahagia, sementara hidupku terpasung dalam derita berkepanjangan. Aku harus membuatnya sengsara! Dialah yang telah merenggut suamiku! Dialah yang telah membuat hidupku dan keluargaku terperosok dalam jurang penderitaan! Sampai saat ini tak secuil pun bahagia yang singgah di dasar hatiku. Dia harus merasakan siksa dan derita yang aku rasakan! Dia tak boleh hidup bahagia!”

Mata wanita itu semakin berkilat-kilat. Sesak jantungnya oleh gemuruh dendam yang kian bergejolak. Dengan sigap diraihnya sebuah belati dari balik pakaiannya. Dia harus melampiaskan dendamnya itu! Dia harus membunuh muslimah itu! Muslimah itu harus mati! Luka di hatinya harus terbalas! Dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Kalau tidak, dia akan menyesal seumur hidup. Kepuasannya adalah melihat muslimah itu mati!

Wanita itu melangkah perlahan. Tak ada rasa ragu di benaknya. Dia melangkah kian dekat menghampiri muslimah dan anaknya itu yang tengah duduk di sebuah bangku taman. Muslimah itu tak menyadari kedatangannya. Dia sepertinya tampak khusuk menimang manja sang buah hati di pangkuannya.

“Sayang… Bunda merasa begitu bahagia memiliki putri sepertimu. Hati Bunda akan selalu terasa damai bila mendekap dirimu, Sayang. Rasa resah dan gundah yang menyesak di dada pun lenyap. Sungguh, Bunda sangat mencintaimu, Sayang…” Muslimah itu berbisik di telinga sang buah hati dengan suaranya yang terdengar sendu.

“Tak ada cinta dan kasih sayang yang bergitu tulus yang pernah aku rasakan selain cinta dan kasih sayang Bunda terhadapku. Ingin rasanya aku selalu dalam dekapan Bunda. Semakin erat Bunda mendekapku, semakin terasa tenang hati ini…” jawab gadis kecil itu dengan perkataannya yang begitu cerdas dan menyentuh kalbu.

Wanita itu terperangah. Terhenyak dalam kebimbangan. Miris hatinya, serasa ditikam berjuta resah. Hatinya terenyuh sesaat. Namun gejolak dendam di dadanya kian menderu-deru. Belati di tangannya bergetar hebat. Amarah yang meletup-letup menggiring langkahnya makin mendekati muslimah itu. Sang muslimah benar-benar tak menyadari kalau wanita itu telah berada di belakangnya. Sekali hentakan, belati di tangan wanita itu telah menembus tubuh sang muslimah. Saat tubuh muslimah itu roboh ke tanah, wanita itu tak memberi ampun! Seperti kerasukan iblis, wanita itu terus menghujamkan belati di tangannya berkali-kali.

Manita itu bergegas pergi. Seringai buasnya rekah, mencuatkan letupan kepuasan hatinya yang sangat, karena telah berhasil membunuh muslimah itu. Dia tak hirau lagi saat gadis kecil yang mendekap tubuh kaku bundanya itu, menangis dan menjerit pilu dengan lengkingan panjang yang menyayat membelah langit.

***

Belati itu telah menghujam dalam di jantung laki-laki itu. Darah segar menyembur deras mengotori dasi dan jas hitam yang dia kenakan. Ada lengkingan yang menyayat saat laki-laki itu meregang nyawa. Mulutnya menganga dengan mata membelalak. Tubuh laki-laki itu benar-benar telah kaku, tergeletak di muka pintu rumahnya.

Wanita itu teramat puasnya. Dendamnya telah terbalaskan. Laki-laki itulah yang telah menceraikannya. Laki-laki yang membuat hidupnya sekarat, berkubang dengan perihnya penderitaan. Laki-laki yang telah menyengsarakan kedua anaknya hingga harus tewas menghantarkan nyawa di tali gantungan. Tapi laki-laki itu kini telah mati. Mati terbunuh oleh tikaman belati, di tangannya! Wanita itu menyeringai puas. Matanya kian berkilat-kilat buas.

Dentuman petir datang menderu, membaur dengan kucuran gerimis yang jatuh berguguran. Wanita itu melangkah pergi dalam hujan. Sebelum dia melewati pintu pagar rumah mewah itu, terdengar olehnya derit pintu yang terkuak, lalu jeritan menyayat seorang gadis kecil yang mendekap tubuh sang ayah yang telah tak bernyawa itu.

Wanita itu segera melangkah pulang. Telah berbulan-bulan dia berkelayap tak tentu arah. Dia tak tahu bagaimana keadaan ibunya saat ini. Seingatnya ibunya itu dalam keadaan sakit keras saat dia tinggalkan dulu. Dia benar-benar tega meninggalkan sang bunda yang menderita dalam ketidakberdayaannya seorang diri, hanya untuk membalaskan dendam kesumatnya.

Nanar mata wanita itu terpaku di depan pintu rumah kontrakannya itu. Tangannya gemetar saat mengetuk daun pintu yang tampak rapuh. Beberapa saat dia menanti dalam keresahan yang berkemelut. Langkah-langkah kaki yang tertatih kemudian terdengar perlahan menghampiri pintu.

Krittt… daun pintu terkuak. Wanita itu menatap penuh takjub sosok ringkih di hadapannya. Sosok itu menatapnya dengan pias sumringah.

“Rukhayah? Kaukah itu anakku?” tanya wanita tua itu dengan mata berbinar.

“Bunda… maafkan aku telah meninggalkan Bunda sendirian…” Rukhayah langsung memeluk sang bunda. Air matanya deras tak terbendung. Dia sesengukkan. “Mulai saat ini, aku berjanji tak akan meninggalkan Bunda lagi…”

Keheningan malam mulai merayap. Ruangan rumah berdinding papan itu hanya berpenerang lampu minyak. Mata Rukhayah tampak bergerak-gerak gelisah. Ada banyak hal yang belum dia ketahui di rumah ini semenjak dia pergi. Saat ini Bundanya tampak sehat dan tubuhnya lebih berisi. Wajahnya tampak bercahaya. Sungguh jauh perbedaannya saat terakhir kali dia tinggalkan beberapa bulan lalu.

“Beberapa waktu lalu, seorang wanita berhati malaikat menemukan Bunda dalam keadaan tak sadarkan diri di tepi jalan raya. Wanita itu lalu membawa Bunda ke rumah sakit. Saat pertama kali tersadar, Bunda menemukan seraut wajah yang teduh dan bercahaya. Bunda merasakan ketenangan yang luarbiasa saat jemari halusnya meraih tangan Bunda. Matanya yang berbinar dan bibirnya yang senantiasa selalu tersenyum, membuat hati Bunda terasa sejuk dan damai. Bunda benar-benar merasa sangat dekat dengan wanita itu, seperti ada ikatan batin yang begitu kuat. Dia menyayangi Bunda seperti orangtuanya sendiri. Naluri Bunda saat itu langsung berkata bahwa dia adalah Melati, anak kandung Bunda yang pernah diminta oleh majikan tempat Bunda bekerja 30 tahun silam karena majikan Bunda itu tak mempunyai keturunan…”

Mata Rukhayah tampak bergerak-gerak gelisah.

Bunda lalu menarik napas dalam-dalam. “Untuk memastikannya, Bunda pun meminta dia untuk menyingkap kerudung yang dia kenakan. Bunda ingat betul, sejak dilahirkan, Melati memiliki tanda hitam berbentuk bulan sabit di lehernya…”

“Lalu… apakah Bunda melihat tanda hitam itu?” tanya Rukhayah dengan suaranya yang hampir tidak terdengar.

“Ya… Bunda benar-benar melihatnya! Dia benar-benar Melati, anak kandung Bunda…” tangis Bunda pun pecah. Rukhayah langsung memeluk tubuh ringkih sang Bunda. “Setelah Bunda sehat dan dibolehkan pulang kembali, Melati meminta Bunda untuk tinggal bersamanya saja. Tapi Bunda menolak, karena Bunda masih ingin menantikan kau kembali ke rumah ini…”

Lama mereka tenggelam dalam keharuan yang begitu dalam. Bunda lalu melangkah menuju lemari tua mengambil selembar foto dan secarik kertas bertuliskan alamat. “Ini dia foto dan alamat Melati yang sekarang…”

Rukhayah meraih foto dan kertas alamat itu dengan perasaan gundah. Dipandanginya wanita berjilbab dalam foto itu dengan seksama. Seketika tenggorokannya tersedak, dan matanya membelalak. Di foto itu dia melihat seorang wanita yang sangat dia kenal! Ya, dia benar-benar sangat mengenali wanita berjilbab itu. Dialah wanita yang telah merenggut suaminya! Dialah wanita yang telah membuat hidupnya menderita dan dihantui oleh dendam yang bergejolak.

Pembunuhan seorang muslimah di sebuah taman empat bulan yang lalu kembali berkelebat dalam ingatan Rukhayah. Dialah wanita yang telah membunuh muslimah itu. Dan saat ini, dia melihat seraut wajah muslimah yang telah dibunuhnya itu di dalam foto yang ada ditangannya ini. Oh, Tuhan… aku telah membunuh muslimah itu? Membunuh saudara kandungku sendiri? Rukhayah terhenyak dengan dada teriris-iris.

“Oh… Bunda sudah tak sabar ingin bertemu dengan Melati kembali. Semoga dia juga merasakan kerinduan yang sama, seperti kerinduan yang Bunda rasakan saat ini…” mata Bunda tampak semakin berbinar-binar.

Tubuh Rukayah semakin bergetar hebat. Tiba-tiba dadanya begitu sesak! Sesak oleh rasa bersalah yang begitu dalam. Hatinya terkoyak-koyak perih. Dan kemelut badai yang teramat dahsyat seakan telah memporak-porandakan lantai tempat kakinya berpijak. Dengan tangan yang semakin gemetaran, segera diraihnya sebilah belati dari balik pakaiannya. Sekali hentakan, tikaman belati itu telah menghujam jantungnya! Dan teriakan Bunda yang histeris tak kuasa lagi didengarnya saat tubuhnya yang tersungkur, bersimbah oleh darah yang kian menyembur deras...

***



Juara II Lomba cerpen UNILAK


Janji Senja

OLEH: DESI SOMALIA



Senja. Merupakan sebuah nama yang tak pernah aku tahu wajahnya. Ia adalah lelaki yang selalu diceritakan Ibu. Kata Ibu lelaki itu adalah Ayahku. Berpuluh-puluh macam cerita tentang kebaikan Ayah ke luar dari mulut Ibu. Cerita yang selalu menjadi pengantar tidurku.

“Ayahmu adalah lelaki pemberani,” kata Ibu pada suatu malam.

Aku mendengarkan kisah tentang keberanian Ayah dengan takjub.

Saat masih kanak-kanak, dalam benakku Ayah hadir sebagai sosok kesatria, jagoan, seperti di film-film yang sering kutonton yang rata-rata berkisah tentang sosok pahlawan. Aku selalu berharap Ayah datang setiap aku berulang tahun sambil membawa kue tart sembari mengecup keningku. Namun, sampai aku beranjak dewasa Ayah tak pernah datang. Kemudian harapan itu perlahan-lahan hilang.

Saat aku melepaskan seragam merah putihku aku meminta pada Ibu agar tak lagi bercerita tentang Ayah ketika aku akan tidur.

“Kenapa?” tanya Ibu.

“Karena Ayah tak pernah datang,” kataku sambil memandang langit-langit kamar.

“Ayahmu berjanji akan datang saat senja.”

“Sudah tak berbilang jumlah senja yang kita lalui, namun Ayah tak kunjung datang.”

“Ayahmu lelaki yang baik. Ia akan datang menepati janjinya.”

“Kenapa ayah menjanjikan datang saat senja? Kenapa tidak pagi atau siang?” aku terus mencecar Ibu.

“Karena senja bukan akhir, ia permulaan sebuah hari.”

Aku tak mengerti maksud perkataan Ibu.



Pada senja yang sepoi aku kembali mendapati Ibu duduk di teras rumah dengan sejuta harap yang terpancar dari sorot matanya. Aku memandang Ibu dari jauh. Kuurungkan niat duduk di sampingnya. Namun, saat akan masuk ke dalam rumah Ibu memanggilku.

“Duduklah di sini,” Ibu melambaikan tangan padaku.

Aku berbalik. Mendekati Ibu. Kutarik kursi di samping Ibu.

Hening sesaat. Sesekali telingaku menangkap hembusan nafas Ibu.

“Tidak rindukah kau pada Ayah?” tanya Ibu tiba-tiba.

“Rindu. Tapi dulu. Sekarang tidak lagi.”

Ibu memandang tajam padaku, “Kenapa?”

Tak ada jawaban lidah. Aku membuang pandang dari tatapan ibu. “Karena aku tak lagi menganggap Senja sebagai Ayahku, bagiku dia hanya lelaki yang hanya menitipkan sperma pada Ibu,” sahutku, tapi hanya kuucapkan dalam hati.

“Kau tak yakin Ayahmu akan datang?” Ibu mengejarku.

“Maaf Ibu, aku bahkan tak yakin Ayah masih ingat pada kita,” kataku takut-takut. Ada yang menggeliat di ulu hatiku. Entah apa namanya.

Mata Ibu melotot. “Kau tak akan bicara begitu saat kau dapati Ayahmu datang kala senja,” suara Ibu parau.

Aku menatap bola mata Ibu. Pandangan kami bertemu, sorot mata perempuan itu sekarang basah.

“Aku tak bermaksud menyakiti perasaan Ibu,” kataku.

Ibu tak menolehku. “Tinggalkan Ibu sendiri,” pintanya sembari mengusap mata basahnya.

Dengan langkah berat kutinggalkan beranda. Masuk ke dalam rumah.



***



Berbilang tahun sudah lewat. Aku sudah tak lagi tinggal bersama Ibu. Aku menetap di kota lain bekerja pada sebuah perusahaan. Ibu menolak ketika kuajak tinggal bersamaku.

“Ibu ingin menunggu Ayahmu di rumah ini setiap senja,” tolak Ibu ketika untuk kesekin kalinya aku membujuk ibu tinggal serumah denganku.

“Dimanapun itu kita akan menikmati senja yang sama,” sahutku.

Ibu menarik ujung bibirnya, membentuk sebuah senyum. Tapi mulutnya tak mengeluarkan suara.

“Ibu bisa menikmati senja bersamaku,” bujukku tanpa putus asa.

“Ibu hanya ingin menunggu Ayahmu di sini. Di rumah ini,” keras hati Ibu.

Akhirnya aku berangkat sendiri setelah tak berhasil membujuk Ibu. Sekali enam bulan aku pulang kampung menjenguk Ibu. Ibu masih seperti dulu. Menanti kehadiran Ayah saat senja. Kasihan Ibu. Penantian yang tak tahu ujungnya. Ibu perempuan setia. Masih menunggu Ayah meski tak ada kabar. Aku pernah menganjurkan agar Ibu mencari pengganti Ayah. Ibu marah besar kala itu. Ibu langsung berdiri di depanku, dan dengan suara yang keras menembus gendang telingaku Ibu membentak.

“Pakai otak!” katanya dengan suara meninggi.

Aku memandang Ibu tidak percaya.

Ibu melangkah, melewatiku, masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Sehari semalam Ibu tidak keluar kamar. Aku menunggu Ibu keluar dengan perasaan takut-takut.

Dalam menunggu itu aku melihat Ibu berdiri di depan pintu dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Kudekati Ibu.

“Ibu, maafkan aku,” kataku sembari memeluk tubuhnya.

Aku merasakan perlahan-lahan tangan Ibu melingkar di badanku. Ibu mengeratkan dekapannya. Kemudian tangan kanannya mengangkat wajahku.

“Ayah terlalu bersih. Ibu tidak mungkin menggantikannya dengan orang lain,” ucapnya.

Mendengar perkataan Ibu kristal bening mengalir di pipiku.

“Jangan lagi berpikir untuk mencari orang lain sebagai pengganti Ayah untuk Ibu. Karena Ibu yakin Ayahmu akan datang pada suatu senja,” pintanya.

Aku mengangguk. Sejak itu aku tak pernah lagi menyinggung tentang kehadiran lelaki lain untuk Ibu.



***

Setelah berbilang bulan tak pulang hari ini aku pulang menjenguk Ibu, sekaligus berniat meminta restu.

“Ibu, sekarang aku tak remaja lagi,” aku membuka pembicaraan.

“Lalu?” potong Ibu.

“Aku ingin menikah,” aku sengaja menggantungkan kalimat berharap Ibu menanggapi.

“Sudah ada calon?” tanya Ibu datar.

“Ya. Kami sudah lama saling kenal,” kataku hati-hati.

Ibu tak menyahut.

“Mohon restu dari Ibu,” lanjutku.

Diam yang dominan.

Aku memainkan ujung jilbabku.

“Tapi kau juga harus minta restu pada Senja, Ayahmu,” Ibu berkata tiba-tiba.

Aku melongo dengan ekspresi tak paham.

“Tinggallah beberapa waktu di sini. Ayahmu pasti datang,” yakin Ibu.

Aku mengikuti saran Ibu. Namun, berminggu-minggu senja itu lewat. Dan Ayah tak pernah datang menenuhi janjinya.

Masa cutiku sudah usai. Aku kembali ke kota tanpa mengantongi restu Ibu tentang pernikahanku. Saat akan meninggalkan rumah aku melihat Ibu masih menunggu Senja.***







Selasa, 19 Mei 2009

Sajak Anggota


Sujud Mayat
(Oktober, 2008)


Malam kini menatap
Pada sujud mayat
Matanya mengatup
Jiwanya kalah
melanglang pekat yang memekat

Tak sadar pikiran merayap
Mencabik khusu’ alas sujud yang membentang
Katanya pada malam, mari berburu pahala
Tapi si sajadah pun malu menatap tuan
Hati dan laku yang tak seiringan

Sujud itu milik si mayat
Bukan si renta yang berpaling dari realita
Tapi tetap saja ini bukan dosa
Hanya sujud ini milik si mayat

(Nafiah Alma'rab)


Info Prestasi FLP


INFO PRESTASI

Tahniah kepada rekan-rekan FLP Riau dan Pekanbaru atas prestasinya memenangkan lomba cipta karya sastra Universitas Lancang Kuning 12 Mei 2009, atas nama;

Bambang (Juara I menulis puisi kategori umum dan mahasiswa)
Ahmad Ijazi (Juara I menulis cerpen kategori umum dan mahasiswa)
Desi Somalia (Juara II menulis cerpen kategori umum dan mahasiswa)

Semoga prestasi yang dicapai menjadi penyemangat bagi kita untuk terus berkarya dan menorehkan tulisan-tulisan pencerahan yang bermanfaat.

Salam takzim- Humas FLP Riau


Kamis, 14 Mei 2009

Sajak Anggota


BATAS-BATAS KETAKUTAN

Kudekap waktu yang sekarat
Pejal usia yang mendekat
Dalam batas-batas ketakutan
Menghukum janji penghambaan
Ku kejar laut yang membiru
Agar tak dicuri masa petangku
Membungkus kisah indah di tepi pantai

Ah…dendang waktu rupanya uzur
Segalanya terlewat di subuh buta
Senja berlari dalam pilu
Janjiku padaNya tercecer
Aku di batas-batas ketakutan







Rabu, 06 Mei 2009

Artikel (I)


Bicara Soal Manfaat

Rangkaian kata demi kata ibarat nadi perubahan. Bukan sekedar tumpahan perasaan si penulis, tapi di sinilah penulis mampu menyelami kebutuhan dari para “pelanggan” tulisannya. Sehingga pada gilirannya tulisan yang lahir akan memberikan sesuatu hal yang berguna bagi para pembacanya. Sebuah manfaat jauh lebih berharga dari pada pengekspresi perasaan pribadi. Bicara soal manfaat, agak kontradiksi dengan pernyataan yang mengatakan tulisan telah lepas kendali dari penulisnya apabila telah dilempar kepublik. Dengan begini bisa dipastikan setiap penulis adalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan apa yang ditulisnya, dan sebuah keniscayaan pula faktor manfaat menjadi urusan ke seratus untuk dihadirkan.

Forum Lingkar Pena adalah komunitas yang tetap berusaha konsisten dengan upaya-upaya pencerahan. Melahirkan sebuah produk tulisan penuh manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Di sinilah para penulis dihimpun, tak sekedar pandai dan mahir teknik dalam menulis, tapi juga mengerti hakikat dan pentingnya setiap torehan mata pena seorang penulis.


Kamis, 30 April 2009

Berita Nasional


Jangan Pilih Capres Pelanggar HAM

Liputan6.com, Jakarta: Sejumlah tokoh aktivis hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi meminta masyarakat tidak memilih para calon presiden serta calon wakil presiden yang tak mendukung penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia. Hal ini disampaikan dalam pertemuan para tokoh penggerak HAM di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis (30/4) siang.
Para aktivis merasa prihatin dengan masuknya nama Prabowo Subianto dan Wiranto dalam bursa capres. Sebab, keduanya dianggap bertanggung jawab terhadap sejumlah pelanggaran HAM di masa lalu.

Para aktivis meminta persoalan HAM yang belum dituntaskan dijadikan pekerjaan rumah bersama bagi siapapun yang menang dalam pemilihan presiden 2009. Seperti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, kasus semanggi, serta penculikan di masa lalu.(UPI/Tim Liputan 6 SCTV


Info Lomba


LOMBA MENULIS CERPEN REMAJA (LMCR-2009)
Total Hadiah Senilai Rp 80 Juta


PT ROHTO LABORATORIES INDONESIA
Kembali menyelenggarakan:
LOMBA MENULIS CERPEN REMAJA (LMCR-2009) Memperebutkan:
LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
Total Hadiah Senilai Rp 80 Juta

•Peserta:
Terdiri dari 3 (tiga) kategori : Pelajar SLTP, SLTA dan Mahasiswa/Guru/Umum
Syarat-Syarat Lomba:
1.Lomba terbuka untuk Pelajar SLTP (Kategori A), Pelajar SLTA (Kategori B) dan Mahasiswa/Guru/Umum (Kategori C) dari seluruh Indonesia atau yang sedang studi/dinas di luar negeri
2.Lomba dibuka tanggal 10 Mei 2009 dan ditutup tanggal 3 Oktober 2009
3.Tema cerita: Dunia remaja dan segala aspeknya (cinta, kebahagiaan, kepedihan, harapan, kegagalan, cita-cita, penderitaan, maupun kekecewaan)
4.Judul bebas, tetapi mengacu pada Butir 3
5.Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 (satu) judul
6.Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang benar, indah (literer) dan komunikatif serta bukan jiplakan dan belum pernah dipublikasi
7.Ketentuan naskah:
a.Ditulis di atas kertas ukuran kuarto (A-4), ditik berjarak 1,5 spasi, font 12 (huruf Times New Roman), margin kiri kanan rata (justified) maksimal 5Cm
b.Panjang naskah antara 6 – 10 halaman, disertai: sinopsis, biodata dan foto pengarang, foto copy indentitas (pilih salah satu: KTP/Paspor/SIM/Kartu Pelajar/Kartu Mahasiswa) yang masih berlaku
c.Naskah yang dilombakan dicetak/diprint-out masing-masing judul 3 (tiga) rangkap disertai file dalam bentuk CD
d.Naskah yang dilombakan per judul dilampiri 1 (satu) kemasan LIP ICE jenis apa saja atau 1 (satu) segel pengaman SELSUN.
e.Naskah yang dilombakan beserta lampirannya (perhatikan ketentuian Butir 7b, 7c dan 7d) dimasukkan ke dalam amplop tertutup/dilem, cantumkan Kategori Peserta pada kanan atas permukaan amplop dan dikirimkan ke Panitia LMCR-2009 LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD – Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau Sentul City, Bogor 16810 – Jawa Barat
8.Hasil lomba diumumkan 31 Oktober 2009 melalui website www.rayakultura.net dan www.rohto.co.id
9.Keputusan Dewan Juri bersifat final dan mengikat
10.Naskah yang dilombakan menjadi milik PT ROHTO, hak cipta milik pengarang
Hasil Lomba
Masing-masing kategori: Pemenang I, II, III, 5 (Lima)
Pemenang Harapan Utama, 10 (Sepuluh) Pemenang
Harapan, dan Pemenang Karya Favorit jumlahnya ditentukan kemudian (jika ada/layak)

Hadiah Untuk Pemenang

Kategori A (Pelajar SLTP)
•Pemenang I: Uang Tunai Rp 4.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD; Pemenang II: Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN; Pemenang III: Uang Tunai Rp 2.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Untuk 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Bagi 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN dan Bingkisan
•Hadiah untuk sekolah Pemenang I, II dan III masing-masing memperoleh satu unit televisi

Kategori B (Pelajar SLTA)
•Pemenang I: Uang Tunai Rp 5.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD; Pemenang II: Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN; Pemenang III: Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Bagi 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN dan 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat hadiah Piagam LIP ICE-SELSUN dan Bingkisan
•Hadiah untuk sekolah Pemenang I, II dan III masing-masing memperoleh satu unit televisi

Kategori C (Mahasiswa/Guru/Umum)
•Pemenang I: Uang Tunai Rp 7.500.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD; Pemenang II: Uang Tunai Rp 6.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN; Pemenang III:Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Bagi 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.500.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN dan 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN dan Bingkisan.

Catatan:
•Hadiah untuk Pemenang Karya Favorit (jika ada) memperoleh Piagam LIP ICE-SELSUN
•Semua pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang LMCR-2009
•Pajak hadiah para pemenang ditanggung oleh PT ROHTO LABORATORIES INDONESIA
•Informasi lebih lanjut e-mail ke: lmcr.2009@gmail.com
Ketua Panitia LMCR-2009
Dra. Naning Pranoto, MA


Minggu, 26 April 2009

Puisi



Perempuan di Tanah Baru
(Nafiah Al Ma’rab)

Selendang kartini ia kalung di lehernya
Agar langkah seoknya bertanya ke daun muda
Pesan kartini semalam ia bungkus di amplop putih

Dia perempuan di tanah baru
Petang malam ia menyanyi dengan doa
Kaji-kajinya di surau tua
Pagi-pagi perempuan lain menatapnya
Barangkali menyusur bias senyum kartini di tiap lekuk wajahnya

Perempuan itu menyulut nadi peradaban
Tangannya membangunkan tanah
Menggelitik air
Menarik pohon




Sabtu, 18 April 2009

Profil FLP


Tentang FLP

FLP, Penulis dari 100 Kota

Oleh: Helvy Tiana Rosa (Pendiri FLP)


Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, jumlah penulis di Indonesia—sebagaimana jumlah pertumbuhan penduduknya–sangat besar. Pada dekade terakhir Indonesia diramaikan oleh munculnya penulis muda berusia di bawah 30 tahun serta maraknya pertumbuhan kantong-kantong sastra di Jakarta dan di banyak kota besar lainnya.

Salah satu yang dianggap fenomenal adalah munculnya Forum Lingkar Pena (FLP), tahun 1997. Dalam waktu yang relatif singkat, organisasi yang memiliki cabang di hampir 30 propinsi dan di mancanegara ini telah beranggotakan sekitar 5000 orang, hampir 70% anggotanya adalah perempuan. Dari jumlah ini, 500 diantaranya menulis secara aktif di berbagai media. 500 orang ini berusaha membina 4500 anggota FLP lainnya untuk menjadi penulis pula.

Selama hampir delapan tahun keberadaannya, organisasi penulis ini telah menerbitkan lebih dari 400 buku yang sebagian besar terdiri dari karya sastra serius, fiksi remaja dan cerita anak. Tidak ada orang atau lembaga yang mensponsori FLP. Kemandirian ini memungkinkan FLP menulis sesuai kata hati. Koran Tempo, salah satu media paling berwibawa di Indonesia, menyebut FLP sebagai sebuah ‘Pabrik Penulis Cerita’!

Sejarah Berdirinya FLP

Tahun 1997 saya, Asma Nadia, Muthmainnah serta beberapa teman dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia bertemu di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Pertemuan berlanjut dengan diskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan para remaja Indonesia. Percakapan tersebut sampai pada kenyataan semakin mendesaknya kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu. Di sisi lain sebenarnya cukup banyak anak muda yang mau berkiprah di bidang penulisan, tetapi potensi mereka kerap tak tersalurkan atau intensitas menulis masih rendah, di antaranya karena tiadanya pembinaan untuk peningkatan kualitas tulisan. Lebih dari itu, semua yang hadir menyadari betapa efektifnya menyampaikan gagasan melalui tulisan.
Akhirnya yang hadir sepakat untuk membentuk organisasi penulis. Maka pada tanggal 22 Februari 1997 berdirilah Forum Lingkar Pena, sebagai badan otonom Yayasan Prima , dan saya terpilih sebagai Ketua Umum. Saat itu anggotanya tak lebih dari 30 orang saja. Kami pun mengadakan acara rutin pekanan dan bulanan berkaitan tentang penulisan untuk anggota, dengan mengundang pakar di bidang tersebut. Kami mengadakan bengkel penulisan secara kecil-kecilan dan merekrut anggota baru.

Tahun 1998, seorang penulis muda dari Kalimantan Timur: Muthi Masfufah, mendirikan FLP Wilayah Kalimantan Timur yang berpusat di Bontang serta cabangnya di Samarinda, Balik Papan, Tenggarong dan kemudian Sangata. Inilah kepengurusan wilayah pertama dalam sejarah FLP. Pada tahun 1999, mulai banyak permintaan dari daerah, untuk membentuk kepengurusan FLP di tiap propinsi.

Majalah Annida—sebuah majalah fiksi Islami bertiras hampir seratus ribu eksemplar perbulan—yang saya pimpin, menjadi salah satu sarana bagi munculnya karya-karya anggota FLP. Majalah tersebut juga membuat rubrik khusus berisi info FLP dan menjadi sarana merekrut anggota baru. Yang mengejutkan, lebih dari 2000 orang mendaftar menjadi anggota melalui Annida. Ditambah lagi, sampai tahun 2003, berdasarkan masukan dari tiap wilayah, tak kurang dari 3000 orang telah mendaftarkan diri pula melalui berbagai acara yang digelar oleh perwakilan-perwakilan FLP di seluruh Indonesia dan mancanegara.

Dari jumlah itu, sekitar 500 adalah penulis aktif. Mereka tinggal di lebih dari 100 kota di Indonesia. Banyak di antara mereka meraih penghargaan dalam berbagai lomba penulisan tingkat propinsi, nasional bahkan internasional. Sekitar 75% penulis majalah Annida, bergabung dalam FLP. Lalu ada pula sekitar 200 pengelola dan penulis buletin atau media kampus. Kebanyakan anggota FLP adalah pelajar dan mahasiswa. Ada juga pegawai negeri, karyawan swasta, buruh, ibu rumah tangga, guru, petani, dan lain-lain.

FLP adalah organisasi inklusif. Keanggotaannya terbuka bagi siapa saja tanpa memandang ras maupun agama. Mayoritas anggota FLP memang muslim, namun tingkat pemahaman keislaman mereka tidak seragam. Banyak pula non muslim yang bergabung. Meski demikian para anggota FLP memiliki niat yang sama: membagi seberkas cahaya bagi para pembaca dan menganggap kegiatan menulis adalah bagian dari ibadah.

Anggota FLP termuda saat ini berusia 4 tahun dan tertua 69 tahun. “Muda” dalam FLP lebih ditekankan pada aspek semangat, bukan usia, meski kebanyakan anggota FLP memang berusia sekitar 15-25 tahun. Namun sejak awal tahun 2004, beberapa FLP wilayah, sebut saja DKI, Jawa Barat dan Kaltim membuka khusus “FLP Kids” untuk anak berusia 6-12 tahun.

Banyak penulis muda dan calon penulis yang kemudian menjadi pengurus FLP di tingkat propinsi pada masa awal Sementara di daerah-daerah yang belum ada kepengurusan, selalu terdapat koresponden FLP.

Hampir berbarengan dengan itu teman-teman yang tengah melanjutkan pendidikan atau tinggal di luar negeri banyak pula yang bersedia untuk membuka kepengurusan FLP atau paling tidak menjadi koresponden FLP di negara tersebut seperti Muthmainnah (Inggris), A Rifanti (Amerika Serikat), Hadi Susanto (Belanda), Ikhwan Arifin (Sudan), Ummu Itqon (Canada), Ali Ghozali (Sudan), Femina Sagita (Jepang), Sera Revalina (Singapura), Ahmad Muhajir (Korea), Lulu Naning (Pakistan), dan banyak lagi yang lainnya (masih dalam tahap konsolidasi). Habiburahman Saerozy dan Fera Andriani Jakfar (Mesir) bahkan membentuk kepengurusan FLP Mesir dan sering bekerja sama dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Organisasi Satuan (istilah lain untuk cabang –penulis) Mesir. Yang lebih mengharukan, para TKW Indonesia di Hongkong, mendirikan pula FLP Hongkong, 16 Februari 2004 lalu. Hampir semua anggotanya adalah pembantu rumah tangga, kecuali beberapa orang saja. Kini mereka tengah mempersiapkan antologi cerpen bersama yang mengangkat persoalan buruh migran perempuan.

Visi, Misi dan Program Kerja

Visi FLP adalah membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia. FLP sepakat untuk menjadikan menulis sebagai salah satu proses pencerahan ummat.

Misi FLP di antaranya:
1. Menjadi wadah bagi penulis dan calon penulis
2. Meningkatkan mutu dan produktivitas (tulisan) para anggotanya sebagai sumbangsih berarti bagi masyarakat
3. Turut meningkatkan budaya membaca dan menulis, terutama bagi kaum muda Indonesia
4. Menjadi organisasi yang selalu memunculkan penulis baru dari daerah di seluruh Indonesia.

Program Kerja FLP:
1. Mengadakan pertemuan rutin (bulanan) bagi para anggotanya dengan mengundang pembicara tamu dari kalangan sastrawan, jurnalis atau cendekiawan
2. Pelatihan penulisan mingguan
3. Mengadakan diskusi/seminar tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kepenulisan atau situasi kontemporer
4. Mengadakan bengkel-bengkel penulisan
5. Aktif mengirimkan tulisan ke berbagai media massa
6. Menerbitkan buletin dan majalah
7. Membuat skenario teater, sinetron, film, dan lain sebagainya
8. Kampanye Gemar Membaca dan Menulis ke SD, SMP, SMU, pesantren dan universitas di Indonesia secara berkala
9. Mengadakan berbagai sayembara penulisan untuk pelajar, mahasiswa dan kalangan umum
10. Pemberian Anugerah Pena
11. Pelaksanaan program Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) di
berbagai tempat di Indonesia
12. Kampanye “Sastra untuk Kemanusiaan”
13. Menerbitkan minimal 10 buku karya para anggota perbulannya, dan lain-lain.

Pesat Meski Minim Dana

Meski minim dana , kegiatan-kegiatan FLP tak pernah berhenti. Hampir setiap minggu ada saja acara kepenulisan yang diadakan oleh FLP, baik pada kepengurusan pusat, wilayah (propinsi), cabang (kota, kabupaten) atau ranting (ranting FLP adalah sebutan untuk kepengurusan FLP di sekolah, pesantren atau universitas). Saya sendiri dua minggu sekali harus ke luar propinsi untuk menghadiri acara-acara yang diadakan FLP disana.

Untuk program penerbitan buku sampai saat ini FLP bekerja sama dengan para penerbit seperti Syaamil (Bandung), Mizan (Bandung), Era Intermedia (Solo), D & D Publishing House (Solo), Pustaka Annida (Jakarta), FBA Press (Depok), Gunung Agung (Jakarta), Pustaka Ummat (Bandung), Zikrul Hakim (Jakarta), Ghalia (Jakarta), Gramedia (Jakarta), Senayan Abadi (Jakarta), Cakrawala (Jakarta), Fastabiq Media (Semarang), Darussalam (Yogyakarta), dan masih banyak lagi. Tahun 2003 bersamaan dengan terbentuknya Yayasan Lingkar Pena yang menjadi badan hukum FLP , FLP membuat penerbitan sendiri yang diberi nama: Lingkar Pena Publishing House.

Selama delapan tahun keberadaan FLP, lebih dari 400 buku karya rekan FLP terbit dan pemasarannya tergolong bagus. Karena itu kini semakin banyak penerbit dari berbagai kalangan yang mengajak FLP bekerjasama dalam usaha penerbitan buku.

Uniknya, rekan-rekan muda FLP di beberapa propinsi juga mengumpulkan naskah dan menerbitkan buku karya para penulis daerah mereka. Misalnya buku Doa Untuk Sebuah Negeri karya FLP Aceh (Syaamil, 2001), Atas Nama Cinta, karya FLP Bandung (Syaamil, 2000) atau Salsa Tersayang (Syaamil, 2000) dan Tarian Sang Hudoq (Syaamil 2002), karya FLP Kalimantan Timur, Kucing Tiga Warna karya FLP Sumatera Selatan (Syaamil, 2002), Jatuh Cinta Pada Bunga karya FLP Surakarta (Era Intermedia, 2002), Karma Sang Srigala karya FLP Semarang (Era Intermedia, 2002), Lihatkan Bintang Untukku karya FLP Yogyakarta (Mizan, 2003), Surga yang Membisu karya FLP Depok (Zikrul Hakim, 2003), Kutemukan Warna karya FLP Mesir (Mizan, 2003), Bintang di Langit Baiturrahman (FLP Aceh), dan masih banyak lagi.

Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002) adalah antologi cerpen bersama FLP yang didedikasikan bagi sastrawan senior Yusakh Ananda. Seluruh honor pengarang diserahkan langsung saat milad (ulang tahun –penulis) FLP tahun 2002 lalu, kepada Ibnu HS (Ketua FLP Kalimantan Barat), mewakili Sastrawan Yusakh Ananda (68 th).

Sebelumnya FLP juga membuat kumpulan cerpen bersama: Ketika Duka Tersenyum (FBA Press, 2002) yang seluruh penjualannya didedikasikan bagi Pipiet Senja, pengarang prolifik pengidap thalassemia. Buku lainnya: Doa untuk Sebuah Negeri (Syaamil, 2000) adalah karya para perempuan pengarang FLP Aceh yang berusia 18-28 tahun. Buku tersebut didedikasikan bagi para anak, janda dan pengungsi Aceh. Buku Merah di Jenin (FBA Press, 2002) yang merupakan ‘keroyokan’ para pengarang FLP nusantara juga FLP Mesir didedikasikan bagi anak-anak Palestina. Meski bukunya baru diluncurkan, FLP menyumbangkan seluruh royalti buku untuk anak-anak Palestina tersebut, melalui MER-C (organisasi bantuan medis sukarela –penulis).

Baru-baru ini, bekerjasama dengan 5 penerbit, FLP memprakarsai gerakan “menyumbang dengan cerpen”, yaitu penggalangan dana bagi korban gempa-tsunami di Aceh dengan cara menyumbang cerpen. Alhamdulillah langsung terkumpul dana 40 juta dimuka, untuk 5 buku yang akan diterbitkan. Penerbitan buku-buku seperti itu menjadi salah satu bagian dari program kampanye “satra untuk kemanusiaan” yang akan terus dilakukan FLP melalui “antologi kasih”.

FLP juga telah memberikan Anugerah Pena untuk anggota dengan karya berkualitas. Mereka yang menerima Anugerah Pena tahun 2005 adalah Habiburrahman el Shirazi (Ayat-Ayat Cinta, Republika 2004), Asma Nadia (Cinta Tak Pernah Menari, Gramedia), Novia Syahidah (Di Selubung Malam, Mizan 2003), Dijemput Malaikat (Palris Jaya, Mizan 2003), Pagi Ini Aku Cantik Sekali (Azimah Rahayu) serta Abdurahman Faiz (Untuk Bunda dan Dunia, Mizan 2004). Tahun ini Kuntowijoyo menerima Anugerah Pena untuk Pengabdian di Bidang Sastra dan uang 10 juta rupiah. Sementara FLP Hongkong terpilih sebagai FLP Wilayah Terpuji.

Di luar hal tersebut, kini di setiap kota yang memiliki cabang FLP, secara bertahap mulai didirikan Rumah-rumah Cahaya (rumah baCA dan HAsilkan karYA). Tempat tersebut bukan sekadar dijadikan sebagai taman bacaan, melainkan juga tempat latihan menulis—gratis– bagi kalangan dhuafa.

FLP yang Fenomenal

Berbagai pendapat muncul tentang FLP dalam kaitannya dengan kesastraan Indonesia kontemporer. Dari segi pembinaan banyak pihak yang menyatakan salut terhadap upaya yang dilakukan FLP. Namun dari segi kualitas karya sebagian besar rekan FLP memang masih dianggap para kritikus sastra sebagai ‘pemula’ yang akan terus bermetamorfosis.

Kehadiran FLP yang juga banyak menampilkan corak religius dianggap menjadi pesaing bagi eksistensi ‘sastra sekuler’ selama ini, juga menjadi penyeimbang yang menyegarkan.

Koran Republika menulis bahwa bagaimana pun FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra religius kontemporer di Indonesia. Karya-karya FLP juga mendapat perhatian dan penghargaan dari para peminat sastra. Majalah Amanah menyatakan FLP dan para anggotanya telah membawa genre baru dalam sejarah sastra dan penulisan di Indonesia. Sementara Harian The Straits Times yang terbit di Singapura meyebut FLP sebagai kelompok fenomenal yang terus menerus melakukan training, workshop dan aneka kegiatan lainnya tanpa henti untuk mendukung lahirnya penulis baru. Koran Tempo bahkan menjuluki Ketua Umum FLP sebagai ‘Lokomotif Penulis Muda Indonesia’. Berbagai kalangan di Indonesia sepakat bahwa Forum Lingkar Pena telah memberikan sumbangsih dan kontribusi berarti dalam dunia kesusastraan Indonesia.

Meski demikian dalam perdebatan di mailing list penyair@yahoogroups.com, beberapa penyair mengatakan bahwa penulis yang mendirikan komunitas (penulisan) adalah mereka yang tidak percaya diri dan takut untuk tampil sendirian. Benarkah demikian? Saya rasa itu terlalu naif. FLP membuktikan keberadaannya adalah untuk saling memajukan serta membantu membidani kelahiran para penulis pelapis.

Maka tiba-tiba saya kembali teringat Galang Lufityanto, pemuda Yogya, kelahiran 1981 yang menulis karya fiksi sama baiknya dengan karya ilmiah, yang berkali-kali menjadi juara I dalam berbagai lomba penulisan tingkat nasional dan telah menerbitkan bukunya: Bisikan dari Langit ( Mizan, 2001) dan Tidak Hilang Sebuah Nama (Era Intermedia, 2002).

Saya teringat Meldy Muzada Elfa dari Barabai, yang dalam usia 14 tahun (kelas 2 SMP) telah menerbitkan dua buku fiksi dan berkali-kali menjadi pelajar teladan se-Kalimantan Selatan. Lalu Syamsa Hawa, si juara kelas, yang dalam usia 13 tahun telah menulis puluhan cerpen dan pada usianya yang ke 14 tahun menerbitkan bukunya Di Balik Cahaya Rembulan (Era Intermedia, 2001). Lalu Adzimattin Nur yang menulis buku pertamanya dalam usia 13 tahun dan hanya dalam waktu dua tahun kemudian ia sudah menghasilkan 7 buku! Abdurahman Faiz yang menerbitkan dua buku puisinya dalam usia 8 tahun serta Caca yang buku kumpulan cerpen pertamanya terbit saat ia belum berusia 8 tahun.

Saya terkenang Asma Nadia yang dua bukunya: Rembulan di Mata Ibu (Mizan, 2000) dan Dialog Dua Layar (Mizan 2001) menjadi buku terbaik tingkat Nasional versi Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia 2001-2002 yang membawanya sebagai pengarang terbaik tingkat nasional IKAPI. Ia juga Pengarang terbaik versi Penerbit Mizan, 2003. Asma menulis 10 buku dalam satu tahun! Bukunya Cinta Tak pernah Menari (Gramedia, 2003) langsung mengalami cetak ulang saat baru satu bulan terbit. Baru-baru ini Asma juga mendapat penghargaan dari Majelis Sastra Asia Tenggara.

Saya pun terbayang Izzatul Jannah, ibu muda dengan tiga anak yang dalam setahun menulis empat novel. Saya ingat Ninik Handrini yang dalam usia 25 tahun telah menulis lebih dari 30 buku cerita anak. Saya terkenang Muthmainnah, kandidat doktor dalam kajian tentang Palestina yang kini tinggal di Inggris. Karyanya: Pingkan Sehangat Mentari Musim Semi (Syaamil, 1998) terus mengalami cetak ulang. Lalu Sakti Wibowo, mantan buruh pabrik roti yang cerdas dan telah menulis belasan buku, di antaranya Tanah Retak (Syaamil, 2003), novel sejarah menjelang perang Jawa 1825-1830. Saya terbayang Agustrijanto yang karyanya Tonil Nyai di Ujung Senapan (Syaamil, 2001) dan Wiracarita Adi Cenik (Syaamil, 2002) dibuat dengan perpaduan riset luar biasa dan jalinan cerita yang indah.

“Tentu saja kita ingin banyak penulis di negeri ini. Dengan adanya FLP ini akan menjadi kerja yang sinergis,” kurang lebih kata-kata itulah yang terucap dari bibir penulis-penulis muda itu, saat pertama kali bergabung dengan FLP.

Dan setelah tahun demi tahun berlalu, nyatalah apa yang dikerjakan penulis dan anggota FLP. Muhali Hisyam, mantan Koordinator Forum Pers Nasional Pesantren menulis: Akhirnya kita pantas berkaca pada lahirnya Forum Lingkar Pena (FLP) serta fenomena dominan sastrawan muda “santri kota” yang akhir-akhir ini mulai tumbuh bermekaran. Terbentuknya FLP sebagai wahana pengembangan sastra dan pembinaan penulis andal dari kalangan muda yang kini sudah sedemikian menggurita ke seluruh Nusantara bahkan hingga mancanegara itu bukan hanya menjadi penegasan dari simtom “musim semi” sastra islami, lebih dari itu ia telah menjadi contoh yang baik bagi lahirnya komunitas sastra yang mampu mewadahi semesta potensi sastra santri dan kepesantrenan dengan baik dan enerjik. Bagaimana Helvy Tiana Rosa telah mampu membuktikan perannya sebagai ibu sekaligus “nyai” yang berhasil mengelola ribuan “santri”-nya dalam “pesantren” FLP dengan baik.

Allahu a’lam.