Selasa, 30 November 2010

Cerpen : PATUNG IBU

Oleh Ahmad Ijazi H

Entah sudah kali keberapa Tania melihat patung itu dari dekat. Patung seorang wanita. Diletakkan di sudut ruang tamu. Patung itu belum jadi. Hanya bagian wajahnya saja yang sudah berbentuk, itu pun masih kasar. Sedangkan bagian tubuh yang lain belum berbentuk sama sekali. Sekilas wajah patung itu mirip dengan wajah ibu. Hampir enam tahun patung itu diletakkan di tempat itu tanpa seorang pun berani menyentuhnya.

Tania heran. Patung itu patung terjelek yang pernah dia lihat. Tapi diletakkan di tempat terhormat, ruang tamu. Padahal Tania tahu, di rumah ini ada beberapa patung yang bentuknya jauh lebih bagus dari patung itu. Tapi tak pernah dipajang di ruang tamu.

Patung itu pahatan ayah. Ayah memang mahir memahat sejak SMA. Walau pun akhirnya ayah menjadi anggota TNI Angkatan Laut, dia tetap gemar memahat saat ada kesempatan. Banyak patung-patung hasil pahatan ayah menghiasi rumah ini.Tania terus menatap lurus patung itu. Dia masih ingat. Patung itu ayah buat untuk hadiah ulang tahun ibu, yang ke 33. Waktu itu Tania masih berumur sepuluh tahun. Ayah berjanji akan menyelesaikan patung itu dalam waktu tiga minggu, tepat pada hari ulang tahun ibu. Namun baru seminggu pertama pembuatan patung itu, ayah dan beberapa temannya mendapat tugas dari panglima komandan Angkatan Laut untuk ke luar daerah. Ada gurat kekecewaan saat ibu melepas kepergian ayah.

“Aku tahu kau kecewa,” ucap ayah waktu itu sambil menatap wajah ibu lekat. “Tapi ini sudah menjadi tugasku. Aku berjanji akan kembali secepatnya. Patung itu pasti akan selesai tepat pada hari ulang tahunmu besok.”

“Aku akan selalu setia menanti kau kembali…” lirih terdengar suara ibu.

Ternyata hari itu adalah hari terakhir ibu melihat wajah ayah. Ibu setia dalam penantiannya, namun ayah tak kunjung datang. Sampai hari ulang tahun ibu menjelang, ayah tak juga pulang. Hingga akhirnya ibu mendapat berita duka––kapal yang ditumpangi ayah bersama rombongan tenggelam diterjang badai. Delapan tentara tewas dalam peristiwa naas itu, sementara tiga tentara yang lain dinyatakan hilang, termasuk ayah. Ibu benar-benar terpukul.

Hingga kini ibu tetap berharap ayah kembali. Walau telah enam tahun tak ada kabar berita. Ibu benar-benar wanita yang setia. Walaupun banyak laki-laki yang menghampirinya, pendirian ibu tak pernah goyah. Ibu yakin ayah masih hidup.

Tania belum mengalihkan pandangannya menatap patung itu. Dia masih penasaran, kenapa ibu selalu melarangnya menyentuh patung itu. Kalau Tania tanya, ibu selalu memberi alasan yang membuat kening Tania berkerut tak mengerti.

Tadi ibu dan Bik Narti sedang memasak di dapur menyiapkan makan malam. Tania celingukan, menoleh kiri kanan. Aman. Dengan jantung berdebar-debar, Tania menjulurkan tangannya hendak mengelus wajah patung itu.

“Jangan sentuh patung itu!” perkataan ibu terdengar dingin seperti biasa. Tania heran. Selalu saja ibu mengetahuinya saat dia ingin menyentuh patung itu. Apakah antara ibu dan patung ini memiliki ikatan batin? Hah, apa mungkin patung dan manusia bisa memiliki ikatan batin? Tania berkata dalam hati.

“Tapi… patung ini berdebu, tak pernah dibersihkan,” sahut Tania tersendat.

“Patung itu belum jadi! Tak ada yang boleh menyentuh patung itu sebelum patung itu selesai diukir!”
Tania terdiam.
Ibu melangkah pergi.

*

Setelah makan malam, ibu melangkah menuju halaman depan. Dari teras rumah, Tania melihat ibu yang duduk di kursi taman sambil menatap bulan purnama yang bersinar terang. Perlahan Tania melangkah menghampiri ibu. Dari dekat, Tania melihat ibu yang tersenyum dengan mata berbinar-binar. Tampak begitu bahagia.

“Semalam Ibu bermimpi bertemu dengan ayah…” ibu berkata tanpa mengalihkan pandangannya menatap bulan purnama.
“Benarkah?” tanya Tania lalu duduk di samping ibu.
Ibu mengangguk, “Ya. Kata ayah, sekarang dia berada di bulan…”
Tania terdiam, menatap wajah ibu dengan sedih.
“Sekarang Ibu merasa sangat bahagia. Ibu benar-benar melihat wajah ayah di bulan itu. Dia sedang tersenyum menatap Ibu…”
Tania tertunduk. Dadanya terasa diiris-iris. Perih. Air matanya ingin tumpah, namun tetap coba dia tahan.
“Tania, kau kenapa?” ibu menoleh menatap wajah Tania.
Tania tetap diam. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya menetes juga.
“Kau menangis, Sayang?” ibu mengangkat wajah Tania.
“Tania sangat terharu dan bahagia. Sudah lama Tania tak melihat Ibu tersenyum sebahagia ini…”
Ibu segera memeluk Tania. Air matanya bercucuran.
Sementara langit mulai berwarna kelabu. Awan-awan hitam berarak-arak merayapi paras bulan yang memancarkan sinar keemasan. Malam pun berubah kelam saat gerimis perlahan jatuh.

*

Tania terbangun tengah malam, terhenyak di atas tempat tidur dalam posisi duduk. Matanya membulat nanar. Keringat di wajahnya membanjir. Deru napasnya tersengal-sengal, seperti baru saja dikejar-kejar penjahat. Tania mengucap istighfar. Dia baru saja mimpi buruk.

Dalam mimpinya dia melihat ibu sedang menatap bulan purnama. Beberapa saat kemudian setitik cahaya jatuh dari wajah bulan purnama itu ke pangkuan ibu. Ibu mengelus cahaya itu dengan lembut. Cahaya itu lalu membesar dan berpendaran, menyilaukan mata. Saat cahaya itu perlahan-lahan lenyap, tampaklah seorang laki-laki berdiri di hadapan ibu. Ternyata laki-laki itu adalah ayah.

Mata ibu tak berkedip menatap wajah ayah. Ibu masih tak percaya sosok di hadapannya itu benar-benar ayah. “Hendra…? Kau kah itu, suamiku?”

Ayah tersenyum dan mengangguk, “Ya. Aku Hendra, suamimu…”
Ibu berdiri dari duduknya lalu menghambur memeluk ayah. Di pelukan ayah, ibu tergugu. Penantiannya selama enam tahun ternyata tak sia-sia. Malam ini ibu benar-benar melihat ayah kembali, bahkan telah memelukknya.

“Aku sangat kagum dengan pendirianmu. Kau benar-benar wanita yang sangat setia. Walau banyak laki-laki yang mengharap cintamu, namun kau tak pernah mau memalingkan hatimu dari cintaku. Aku benar-benar bahagia…” Kristal-kristal bening berguguran juga dari kedua sudut mata ayah.

“Kau adalah laki-laki teristimewa yang pernah kumiliki. Sungguh kau tak kan pernah tergantikan dengan laki-laki mana pun…”

Beberapa saat lamanya ibu dan ayah berpelukan, melepaskan kerinduan mendalam dalam suasana penuh haru. Tania yang menyaksikan pemandangan itu dari kejauhan pun tak kuasa membendung air matanya.

“Kedatanganku ke mari untuk menjemputmu,” bisik ayah lembut.
Ibu melepaskan pelukan ayah. “Menjemputku?”
“Ya. Aku ingin membawamu ke bulan. Di sana kita pasti bisa merasakan kebahagiaan tanpa seorang pun dapat mengusik kita.”
“Tapi, bagaimana dengan Tania?”
“Tania?”
“Ya, dia anak kita. Kau masih ingat?”
“Tentu saja.”
“Dia harus ikut.”
“Kalau dia ikut, dia bisa mengganggu kebahagiaan kita. Aku ingin kita berdua saja.”
“Kalau begitu, aku tak mau ikut denganmu. Tak mungkin aku tega meninggalkan Tania sendirian.”
“Apakah kau tak mencintaiku lagi?”
“Aku sangat mencintaimu. Tapi…”
“Kalau kau benar-benar mencintaiku, kau harus turuti apa kataku!”
“Kau egois!”
“Kau harus ikut aku!” ayah mencengkeram kedua lengan ibu.
“Aku tak mau!” ibu berusaha berontak.
“Kau hanya milikku! Tak ada yang boleh merebutmu dariku!” cengkeraman tangan ayah semakin kuat. Matanya tampak berkilat-kilat. Ayah menyeringai buas seperti serigala haus darah. Ibu semakin ketakutan.
“Kau… kau bukan suamiku! Lepaskan aku! Lepaskan!!” ibu meronta-ronta.

“Tidak akan kulepaskan! Tidak akan! Hua ha ha ha…!” tiba-tiba di tubuh ayah tumbuh sepasang sayap burung garuda. Saat ayah mengepakkan sayapnya, tubuh ibu pun ikut terbang ke udara.

Tania mengejar ibu dengan panik. “Lepaskan ibuku! Lepaskaaaan…!” Tania berteriak-teriak. Namun ayah tak menghiraukannya. Setelah itu Tania terjaga dari mimpinya.

Tania menyeka keringat di wajahnya. Cahaya rembulan menerobos masuk melewati jendela kaca yang hordennya tesingkap. Perlahan Tania melangkah menghampiri jendela lalu memandang ke luar. Bulan purnama bersinar terang di langit. Tampak begitu indah. Tiba-tiba Tania teringat ibu. Cepat-cepat dialihkannya pandangannya menatap kursi taman di halaman depan. Tania terperanjat. Ibu masih duduk di sana sambil menikmati indahnya bulan purnama. Bergegas Tania keluar dari rumah menghampiri ibu.

“Bu, malam sudah sangat larut. Sebaiknya Ibu segera istirahat. Besok kan, Ibu harus ke kantor?” Tania berkata lembut.

Ibu menoleh. Menatap wajah Tania lekat, lalu tersenyum. “Tania, saat ini Ibu merasa bahagiaaa sekali! Kau tahu apa yang membuat Ibu bahagia?”

Tania diam menanti jawaban ibu.
“Baru saja ayah turun dari bulan menemui Ibu. Dia berjanji akan datang lagi saat ulang tahun Ibu besok…”

Tania menundukkan wajah. Dadanya teriris-iris. Perih. Tuhan… jangan biarkan ibuku menderita seperti ini. Kasihan ibu. Aku sangat sayang ibu… jerit Tania dalam hati. Tiba-tiba air matanya jatuh lagi.

*

Besok ibu ulang tahun. Ulang tahun yang ke 39. Berbagai perlengkapan telah dipersiapkan sejak dua minggu terakhir. Mulai dari gaun yang harus ibu kenakan, kue ulang tahun, dan beberapa perlengkapan lainnya.

Tania baru bangun dari tidur siangnya. Dipicingkannya matanya melihat jam di dinding kamarnya. Jam lima sore! Cukup lama juga dia terlelap. Mungkin karena terlalu lelah dengan aktivitas di sekolahnya yang padat.

Tania segera beranjak dari kamarnya menuruni tangga menuju lantai bawah. Di ruang tengah dia mendapati ibu telah mengenakan gaun indah berwarna jingga. Tak berkedip Tania memandang wajah ibu. Tania terkagum-kagum. Ibu cantik sekali! Belum pernah dia melihat ibu berhias secantik ini sebelumnya.

“Tania? Kenapa bengong begitu?” tegur ibu sambil membawa dua buah piring kaca berisi puding jagung berukuran mini. Segera diletakkannya piring-piring itu dengan sangat hati-hati di sebuah meja yang telah dipersiapkan di ruang tengah. Bik Narti turut membantu ibu. Beberapa minuman dan makanan mewah yang lainnya telah tersaji di meja itu. Baunya semerbak membangkitkan selera. Membuat Tania lapar.

“Oh eh… Ibu cantik sekali sore ini,” sahut Tania sekenanya sambil melangkah menghampiri meja. “Wah, banyak sekali makanan mewah di meja ini?” mata Tania berbinar-binar. “Siapa tamu yang akan bertandang? Sepertinya istimewa sekali?”

Ibu tersenyum, memandang wajah Tania lekat-lekat. “Malam ini ayah akan datang menemui Ibu.” Ibu berkata dengan raut wajah berbunga-bunga. Ibu tampak sangat bahagia.

Tania diam. Matanya yang tadi berbinar-binar berubah pias. “Ibu yakin ayah akan datang?” tanya Tania pelan. Hampir tak terdengar.

“Ayah laki-laki setia. Dia selalu menepati janjinya…”
Tania tersenyum samar. Segera dia menjauh sebelum air matanya benar-benar jatuh.

*

Malam telah larut. Tania masih melihat ibu di halaman rumah, duduk di kursi taman sambil menatap wajah bulan yang terang benderang. Udara di luar sangat dingin. Tania melangkah menghampiri ibu.

“Bu, malam telah larut. Udara dingin sekali. Sebaiknya Ibu istirahat saja…” Tania tampak khawatir.

“Sebentar lagi ayah datang. Ibu harus menunggunya…” lirih terdengar suara ibu.
“ Malam sudah sangat larut. Tania khawatir Ibu sakit.”
“Ayahmu laki-laki setia. Dia pasti menepati janjinya.”
“Tapi…”
“Sudahlah! Ibu yakin ayah datang malam ini. Ibu harus menunggunya. Ibu tak ingin membuat ayah kecewa…”

*

Tania terbangun dari tidurnya. Cahaya mentari pagi yang menerobos masuk melewati lubang ventilasi kamarnya menampar wajah Tania. Silau. Tania menyipitkan matanya. Jarum jam di dinding kamarnya telah menunjukkan pukul delapan. Tania heran. Biasanya ibu selalu mengomel kalau dia bangun kesiangan. Apa mungkin karena hari ini hari Minggu? Berkali-kali Tania menguap sebelum akhirnya beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk mencuci muka.

Tania lalu melangkah menuruni tangga menuju lantai bawah. Dia ingin menemui ibu. Biasanya ibu suka berbenah rumah kalau hari libur seperti ini. Ah, bukannya hari ini ibu ulang tahun?! Ya Tuhan… Tania hampir saja lupa. Tania mempercepat langkah menuruni anak tangga. Dia sudah tak sabar untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan memberi ciuman cinta pada ibu.

Di ruang tengah Tania melihat Bik Narti sedang membereskan piring-piring kotor yang berserak di atas meja. Tania mengerutkan alis. Teringat ibu yang menanti kedatangan ayah semalam. Apa mungkin ayah benar-benar menemui ibu semalam?

“Ibu di mana, Bik?” tanya Tania agak khawatir. Semalam ibu menunggu kedatangan ayah hingga larut malam.

“Bibik tidak tahu, Non. Mungkin masih di kamarnya.”
Tania bergegas menuju kamar ibu, tapi ibu tak ada di kamarnya. Tania beranjak menuju dapur, namun ibu juga tak dia temukan di sana. Tania melangkah menuju halaman depan, namun lagi-lagi ibu tak ditemukan juga. Oh, di mana ibu? Tania cemas sekali. Keringat di wajahnya bercucuran.

Dengan perasaan kecewa Tania melangkah menuju ruang tamu. Kedua matanya langsung tertuju ke sudut ruangan, tempat di mana patung ibu berada. Mata Tania membulat seketika. Dilihatnya patung itu kini telah sempurna! Patung itu telah selelai dibuat. Patung itu benar-benar mirip ibu!

Perlahan Tania melangkah menghampiri patung itu. Ditatapnya wajah patung itu lekat-lekat. Patung itu seperti hidup.

“Ayahmu telah menepati janjinya untuk menyelesaikan patung pahatannya tepat di hari ulang tahun ibumu…” bibir patung itu tampak bergerak-gerak.
Tania terpana.

Ahmad Ijazi H, Mahasiswa UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru
Pemenang Ke-2 LMCR 2009 untuk kategori C (Mahasiswa, Guru dan Umum)

0 komentar:

Posting Komentar