Acara Diskusi FLP mencerahkan. exmple

Blog ini masih dalam perbaikan. FLP senantiasa berkomitmen untuk menjadikan organisasi menulis ini menjadi lebih baik dan bermanfaat untuk Indonesia

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 30 Mei 2009

OPINI


Goresan Kebenaran
Oleh: Wamdi*


“Saat aku lelah menulis dan membaca
di atas buku-buku letakkan kepala
dan saat pipiku menyentuh sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah,
bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?”
(Imam An-Nawawi)

Apa yang menyentak-nyentak hati mereka, sehingga tergugah mengunjungi sang guru walaupun telah berdiam di balik jeruji besi? Tiada lain selain kebenaran qaul (ucapan) dan upaya membumikannya, sehingga ia tumbuh laksana pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan pucuknya menjulang ke langit. Kata-kata yang tak menuai pelapukan tatkala hujan dan tak mengalami kelekangan di musim panas. Ia tempat si musafir bernaung dari sengatan sang surya, payung raksasa manakala hujan. Di akarnya mereka bersila, di batangnya mereka bersandar, dan memetik buah ranum manakala lapar.


”Madza sana’mal lakum, ya ustazina? (Apa yang bisa kami lakukan untuk anda wahai guru?”
”Tolong berikan padaku arang-arang yang berserak di luar itu,” jawab sang guru dengan suara agak melemah karena diguras penyiksaan dari hari ke hari. Lewat goresan arang-arang tersebutlah lahir karya-karya monumental yang menjadi referensi bagi generasi berikutnya dan orang yang mereka panggil guru tersebut adalah Syekh Imam Ibnu Taimiyah rohimallahu.

Tradisi menulis di kalangan para ulama – tepatnya di kalangan umat Islam – bukanlah hal yang baru. Ini terlihat dari kitab-kitab yang menjadi bahan rujukan para pengajar, santri di pesantren-pesantren, universitas-universitas dan tempat pengajian lainnya. Tulisan-tulisan para ulama tersebut menjadi referensi karya ilmiah.
Lalu pertanyaannya, apa yang membuat goresan tinta mereka ’abadi’ sebagai rujukan? Jawabannya tentu keikhlasan, ya keikhlasan menuliskan kebenaran. Mereka adalah para dai yang memahami keterbatasan usia. Mengerti muhimmah (urgensi) yang dipendam dalam sebuah tulisan. Maka asimilasi keterbatasan usia dan urgensi sebuah tulisan inilah yang menggerak pribadi-pribadi mereka untuk selalu menelurkan karya yang pada akhirnya akan menetas menjadi kebenaran yang melintasi generasi, teritorial di mana mereka sendiri tak pernah hadir di sana.

Lihatlah Sayid Qutb dengan Tafsir Fi Zhilalil Qur`an dan Maalim Fit Thariqnya, HAMKA dengan tafsir Al-Azharnya. Karya-karya tersebut terlahir di balik jeruji besi. Sayid Qutb yang ditahan Gamal Abdul Nasser karena dituduh melakukan egitasi Antipemerintah, HAMKA yang dianggap sebagai penghianat pada tanah air. Namun, mari kita dengarkan apa yang dikatakan HAMKA, “Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak istri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Al Qur’anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati. Masa terpencil dua tahun telah saya pergunakan untuk sebaik-baiknya.”

Raga mereka boleh saja disiksa, namun jiwa mereka adalah jiwa yang merdeka. Fisik mereka bisa saja dikungkung, namun nuraninya terbang sebebas-bebasnya. Jasad mereka memang didera penderitaan tiadatara, namun gagasan dan ide besar mereka telah melanglangbuana menembus selat dan benua. Seperti yang dikatakan Abdullah Azzam, “Sejarah Islam ditulis dengan hitamnya tinta ulama dan merah darahnya para syuhada.”

*Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Riau




Jumat, 22 Mei 2009

Juara I Lomba Puisi UNILAK


BUDAK-BUDAK BERKELINDAN
(Bambang Kariyawan)
Juara I Lomba Cipta Puisi Laman Sastra UNILAK


Budak-budak berceloteh bisu ungu dalam riuhmu
Riuh rendah membicarakan Semenanjung Bumi Bertuah yang semakin murung
Celoteh tentang peperangan ombak yang galau dan pantai yang terendam
Pantai-pantai putih yang telah langkah untuk dijejak
Pelabuhan-pelabuhan kayu murung meranggas patah
Gemuruh ombak menjadi tontonan bukan sahabat lagi
Budak-budak berseloroh menghempas dalam buihmu
Seloroh tentang pasir-pasir yang berlarian ke negeri seberang
Karang-karang termangu menggulung kenangan yang mengigau
Seloroh gesekan nyiur dan cemara laut yang gelagapan menerima kedatangan orang-orang tak dikenal
Budak-budak bertutur abu-abu sunyiku dalam gelombangmu
Sunyi menepi dari perahu kelam yang semamput
Sesak kalap mendayung badai
Tutur kelong dalam kehampaan jelaga malam yang membeku
Nelayan-nelayan menjadi gagu menyaksikan laut telah lebam
Budak-budak bersenandung malamku terpias dalam buliran riakmu
Riak-riak gelombang telah berkarat menghempas di pantai yang layu
Senandung angin berpusaran menimbah siang dalam hitungan angin
Cemara laut telah bisu mendiamkan angin
Mencari rimbunan bakau yang tersembunyi mengganti harapan yang telah memutih
Budak-budak berkelindan dalam laut yang diam. Budak-budak bercengkerama dalam senandung camar. Tak habis pusaran membeliung dalam hitungan senja.
Hingga palung hatiku menjerembabkanku dalam irisan sunyi.


Guru SMA Cendana Pekanbaru
Komplek Palem PT. CPI Rumbai
085265437316



Juara I Lomba cerpen UNILAK


Kemelut Api Dendam

Oleh Ahmad Ijazi H

Mata wanita itu menyala bak kobaran api bergejolak. Hujaman perih kian bertubi-tubi tak kunjung reda mengoyak batinnya. Letupan dendam kian mengamuk, membunuh rasa iba yang berkelebat di pelupuk mata. Wanita itu menyeringai dengan dengus menderu, bak serigala haus darah. Terik mentari yang membakar paras, menganaksungaikan peluh di wajah. Wanita itu tak peduli. Sorot mata tajamnya terus mengekor langkah kaki seorang muslimah yang baru saja keluar dari mobil mewah. Seorang gadis kecil berumur 10 tahun tertawa riang di sampingnya. Tampak begitu ceria. Melihatnya, hati wanita itu kian tercabik-cabik. Serasa ditikam pisau berkarat, perih tak terperi! Samapai kapan pun dia tak akan pernah rela muslimah itu mengecap bahagia. Muslimah itu telah merenggut suaminya! Membuat hidupnya dan keluarganya menderita!

Dua tahun silam. Belati beracun telah torehkan luka menganga di jantungnya. Luka itu tak kunjung sembuh, bahkan kian parah! Dia takkan pernah terlupa. Saat suaminya menceraikannya. Dia dituduh berselingkuh dengan majikannya sendiri.

Wanita itu memang pekerja keras, menjadi pembantu rumah tangga harian. Pergi pagi pulang malam. Beban keluarga yang ditanggungnya teramat berat. Dia harus menghidupi dua anak gadisnya: Rahma dan Laila yang bersekolah di SMP dan SMA, juga bundanya yang sering sakit-sakitan. Sementara suaminya pengangguran dan suka berjudi. Terkadang suaminya itu pergi tak tentu tujuan, lalu pulang dalam keadaan teler. Dua anak gadinya sering menjadi pelampiasan amarahnya. Tamparan dan pukulan sering mendarat di wajah kedua anaknya itu. Sementara pemilik kedai di seberang rumahnya sering bertandang kepadanya menagih hutang suaminya yang menggunung.

Wanita itu terpaksa bekerja lebih keras untuk mendapat upah lebih. Dia bekerja dari pagi, hingga pulang pagi pula. Suaminya berang karena dia tak pernah di rumah. Dia dituduh berselingkuh dengan majikannya! Dia dicerai paksa oleh suaminya, lalu diusir dari rumah. Begitu pun ibunya yang sering sakit-sakitan, diusir pula oleh suaminya dengan keji karena dianggap menyusahkan. Wanita itu mengontrak rumah. Di sana dia terus berjuang keras menghidupi keluarga, terutama untuk memenuhi biaya sekolah dua anak gadisnya. Sebenarnya dua anak gadisnya itu berkeinginan untuk tinggal bersama wanita itu, namun suaminya melarangnya.

Hati wanita itu kian terkoyak-koyak perih saat mendengar suaminya menikah lagi dengan seorang janda kaya-raya beranak satu. Dan luka di jantungnya kian menganga lebar saat dia mengetahui dua anak gadisnya telah dijual oleh suaminya kepada seorang pengusaha kaya untuk dijadikan wanita penghibur di sebuah klab malam. Seribu tikaman belati beracun seakan telah membuat hidupnya sekarat, namun dia tak bisa mati. Dia terus hidup dalam kubang derita yang teramat menyakitkan!

Sebulan kemudian, wanita itu mendapat kabar bahwa anak sulungnya, Laila, ditemukan tewas gantung diri di sebuah kamar hotel! Laila depresi, mengalami goncangan jiwa. Siang malam dia harus melayani nafsu bejat puluhan lelaki hidung belang. Dia tak kuat. Derita yang ditanggungnya teramat berat. Sampai akhirnya dia ditemukan tewas di dalam sebuah kamar hotel dengan seutas tali mejerat leher!

Bagai dirajam sejuta sembilu, wanita itu tak kuasa menanggung derita yang semakin bertubi-tubi. Dia tak kuat rasanya terus melangkah dalam kemelut badai yang kian dahsyat menerpa hidupnya. Apalagi saat dia kemudian harus menerima kenyataan pahit untuk kedua kalinya bahwa Rahma, satu-satunya anak yang menjadi harapan hidupnya itu, harus pula meregang nyawa, tewas dengan keadaan yang sangat mengenaskan di tiang gantuangan, dengan seutas tali menjerat leher!

Wanita itu sesengukkan. Air matanya kian deras berjatuhan. Letupan dendam kian menyala, berkobar menjilat-jilat di relung hatinya. Sorot mata wanita itu kian tajam memaku sosok muslimah yang tengah duduk di bangku taman. Binar mata muslimah yang teduh itu memperlihatkan betapa bahagianya dia mendekap sang buah hati dengan penuh rasa cinta.

Rahang wanita itu kian bergemeletak. Dia mendengus dengan amarah berapi-api. “Sampai mati pun aku tak kan pernah rela melihatnya hidup bahagia, sementara hidupku terpasung dalam derita berkepanjangan. Aku harus membuatnya sengsara! Dialah yang telah merenggut suamiku! Dialah yang telah membuat hidupku dan keluargaku terperosok dalam jurang penderitaan! Sampai saat ini tak secuil pun bahagia yang singgah di dasar hatiku. Dia harus merasakan siksa dan derita yang aku rasakan! Dia tak boleh hidup bahagia!”

Mata wanita itu semakin berkilat-kilat. Sesak jantungnya oleh gemuruh dendam yang kian bergejolak. Dengan sigap diraihnya sebuah belati dari balik pakaiannya. Dia harus melampiaskan dendamnya itu! Dia harus membunuh muslimah itu! Muslimah itu harus mati! Luka di hatinya harus terbalas! Dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Kalau tidak, dia akan menyesal seumur hidup. Kepuasannya adalah melihat muslimah itu mati!

Wanita itu melangkah perlahan. Tak ada rasa ragu di benaknya. Dia melangkah kian dekat menghampiri muslimah dan anaknya itu yang tengah duduk di sebuah bangku taman. Muslimah itu tak menyadari kedatangannya. Dia sepertinya tampak khusuk menimang manja sang buah hati di pangkuannya.

“Sayang… Bunda merasa begitu bahagia memiliki putri sepertimu. Hati Bunda akan selalu terasa damai bila mendekap dirimu, Sayang. Rasa resah dan gundah yang menyesak di dada pun lenyap. Sungguh, Bunda sangat mencintaimu, Sayang…” Muslimah itu berbisik di telinga sang buah hati dengan suaranya yang terdengar sendu.

“Tak ada cinta dan kasih sayang yang bergitu tulus yang pernah aku rasakan selain cinta dan kasih sayang Bunda terhadapku. Ingin rasanya aku selalu dalam dekapan Bunda. Semakin erat Bunda mendekapku, semakin terasa tenang hati ini…” jawab gadis kecil itu dengan perkataannya yang begitu cerdas dan menyentuh kalbu.

Wanita itu terperangah. Terhenyak dalam kebimbangan. Miris hatinya, serasa ditikam berjuta resah. Hatinya terenyuh sesaat. Namun gejolak dendam di dadanya kian menderu-deru. Belati di tangannya bergetar hebat. Amarah yang meletup-letup menggiring langkahnya makin mendekati muslimah itu. Sang muslimah benar-benar tak menyadari kalau wanita itu telah berada di belakangnya. Sekali hentakan, belati di tangan wanita itu telah menembus tubuh sang muslimah. Saat tubuh muslimah itu roboh ke tanah, wanita itu tak memberi ampun! Seperti kerasukan iblis, wanita itu terus menghujamkan belati di tangannya berkali-kali.

Manita itu bergegas pergi. Seringai buasnya rekah, mencuatkan letupan kepuasan hatinya yang sangat, karena telah berhasil membunuh muslimah itu. Dia tak hirau lagi saat gadis kecil yang mendekap tubuh kaku bundanya itu, menangis dan menjerit pilu dengan lengkingan panjang yang menyayat membelah langit.

***

Belati itu telah menghujam dalam di jantung laki-laki itu. Darah segar menyembur deras mengotori dasi dan jas hitam yang dia kenakan. Ada lengkingan yang menyayat saat laki-laki itu meregang nyawa. Mulutnya menganga dengan mata membelalak. Tubuh laki-laki itu benar-benar telah kaku, tergeletak di muka pintu rumahnya.

Wanita itu teramat puasnya. Dendamnya telah terbalaskan. Laki-laki itulah yang telah menceraikannya. Laki-laki yang membuat hidupnya sekarat, berkubang dengan perihnya penderitaan. Laki-laki yang telah menyengsarakan kedua anaknya hingga harus tewas menghantarkan nyawa di tali gantungan. Tapi laki-laki itu kini telah mati. Mati terbunuh oleh tikaman belati, di tangannya! Wanita itu menyeringai puas. Matanya kian berkilat-kilat buas.

Dentuman petir datang menderu, membaur dengan kucuran gerimis yang jatuh berguguran. Wanita itu melangkah pergi dalam hujan. Sebelum dia melewati pintu pagar rumah mewah itu, terdengar olehnya derit pintu yang terkuak, lalu jeritan menyayat seorang gadis kecil yang mendekap tubuh sang ayah yang telah tak bernyawa itu.

Wanita itu segera melangkah pulang. Telah berbulan-bulan dia berkelayap tak tentu arah. Dia tak tahu bagaimana keadaan ibunya saat ini. Seingatnya ibunya itu dalam keadaan sakit keras saat dia tinggalkan dulu. Dia benar-benar tega meninggalkan sang bunda yang menderita dalam ketidakberdayaannya seorang diri, hanya untuk membalaskan dendam kesumatnya.

Nanar mata wanita itu terpaku di depan pintu rumah kontrakannya itu. Tangannya gemetar saat mengetuk daun pintu yang tampak rapuh. Beberapa saat dia menanti dalam keresahan yang berkemelut. Langkah-langkah kaki yang tertatih kemudian terdengar perlahan menghampiri pintu.

Krittt… daun pintu terkuak. Wanita itu menatap penuh takjub sosok ringkih di hadapannya. Sosok itu menatapnya dengan pias sumringah.

“Rukhayah? Kaukah itu anakku?” tanya wanita tua itu dengan mata berbinar.

“Bunda… maafkan aku telah meninggalkan Bunda sendirian…” Rukhayah langsung memeluk sang bunda. Air matanya deras tak terbendung. Dia sesengukkan. “Mulai saat ini, aku berjanji tak akan meninggalkan Bunda lagi…”

Keheningan malam mulai merayap. Ruangan rumah berdinding papan itu hanya berpenerang lampu minyak. Mata Rukhayah tampak bergerak-gerak gelisah. Ada banyak hal yang belum dia ketahui di rumah ini semenjak dia pergi. Saat ini Bundanya tampak sehat dan tubuhnya lebih berisi. Wajahnya tampak bercahaya. Sungguh jauh perbedaannya saat terakhir kali dia tinggalkan beberapa bulan lalu.

“Beberapa waktu lalu, seorang wanita berhati malaikat menemukan Bunda dalam keadaan tak sadarkan diri di tepi jalan raya. Wanita itu lalu membawa Bunda ke rumah sakit. Saat pertama kali tersadar, Bunda menemukan seraut wajah yang teduh dan bercahaya. Bunda merasakan ketenangan yang luarbiasa saat jemari halusnya meraih tangan Bunda. Matanya yang berbinar dan bibirnya yang senantiasa selalu tersenyum, membuat hati Bunda terasa sejuk dan damai. Bunda benar-benar merasa sangat dekat dengan wanita itu, seperti ada ikatan batin yang begitu kuat. Dia menyayangi Bunda seperti orangtuanya sendiri. Naluri Bunda saat itu langsung berkata bahwa dia adalah Melati, anak kandung Bunda yang pernah diminta oleh majikan tempat Bunda bekerja 30 tahun silam karena majikan Bunda itu tak mempunyai keturunan…”

Mata Rukhayah tampak bergerak-gerak gelisah.

Bunda lalu menarik napas dalam-dalam. “Untuk memastikannya, Bunda pun meminta dia untuk menyingkap kerudung yang dia kenakan. Bunda ingat betul, sejak dilahirkan, Melati memiliki tanda hitam berbentuk bulan sabit di lehernya…”

“Lalu… apakah Bunda melihat tanda hitam itu?” tanya Rukhayah dengan suaranya yang hampir tidak terdengar.

“Ya… Bunda benar-benar melihatnya! Dia benar-benar Melati, anak kandung Bunda…” tangis Bunda pun pecah. Rukhayah langsung memeluk tubuh ringkih sang Bunda. “Setelah Bunda sehat dan dibolehkan pulang kembali, Melati meminta Bunda untuk tinggal bersamanya saja. Tapi Bunda menolak, karena Bunda masih ingin menantikan kau kembali ke rumah ini…”

Lama mereka tenggelam dalam keharuan yang begitu dalam. Bunda lalu melangkah menuju lemari tua mengambil selembar foto dan secarik kertas bertuliskan alamat. “Ini dia foto dan alamat Melati yang sekarang…”

Rukhayah meraih foto dan kertas alamat itu dengan perasaan gundah. Dipandanginya wanita berjilbab dalam foto itu dengan seksama. Seketika tenggorokannya tersedak, dan matanya membelalak. Di foto itu dia melihat seorang wanita yang sangat dia kenal! Ya, dia benar-benar sangat mengenali wanita berjilbab itu. Dialah wanita yang telah merenggut suaminya! Dialah wanita yang telah membuat hidupnya menderita dan dihantui oleh dendam yang bergejolak.

Pembunuhan seorang muslimah di sebuah taman empat bulan yang lalu kembali berkelebat dalam ingatan Rukhayah. Dialah wanita yang telah membunuh muslimah itu. Dan saat ini, dia melihat seraut wajah muslimah yang telah dibunuhnya itu di dalam foto yang ada ditangannya ini. Oh, Tuhan… aku telah membunuh muslimah itu? Membunuh saudara kandungku sendiri? Rukhayah terhenyak dengan dada teriris-iris.

“Oh… Bunda sudah tak sabar ingin bertemu dengan Melati kembali. Semoga dia juga merasakan kerinduan yang sama, seperti kerinduan yang Bunda rasakan saat ini…” mata Bunda tampak semakin berbinar-binar.

Tubuh Rukayah semakin bergetar hebat. Tiba-tiba dadanya begitu sesak! Sesak oleh rasa bersalah yang begitu dalam. Hatinya terkoyak-koyak perih. Dan kemelut badai yang teramat dahsyat seakan telah memporak-porandakan lantai tempat kakinya berpijak. Dengan tangan yang semakin gemetaran, segera diraihnya sebilah belati dari balik pakaiannya. Sekali hentakan, tikaman belati itu telah menghujam jantungnya! Dan teriakan Bunda yang histeris tak kuasa lagi didengarnya saat tubuhnya yang tersungkur, bersimbah oleh darah yang kian menyembur deras...

***



Juara II Lomba cerpen UNILAK


Janji Senja

OLEH: DESI SOMALIA



Senja. Merupakan sebuah nama yang tak pernah aku tahu wajahnya. Ia adalah lelaki yang selalu diceritakan Ibu. Kata Ibu lelaki itu adalah Ayahku. Berpuluh-puluh macam cerita tentang kebaikan Ayah ke luar dari mulut Ibu. Cerita yang selalu menjadi pengantar tidurku.

“Ayahmu adalah lelaki pemberani,” kata Ibu pada suatu malam.

Aku mendengarkan kisah tentang keberanian Ayah dengan takjub.

Saat masih kanak-kanak, dalam benakku Ayah hadir sebagai sosok kesatria, jagoan, seperti di film-film yang sering kutonton yang rata-rata berkisah tentang sosok pahlawan. Aku selalu berharap Ayah datang setiap aku berulang tahun sambil membawa kue tart sembari mengecup keningku. Namun, sampai aku beranjak dewasa Ayah tak pernah datang. Kemudian harapan itu perlahan-lahan hilang.

Saat aku melepaskan seragam merah putihku aku meminta pada Ibu agar tak lagi bercerita tentang Ayah ketika aku akan tidur.

“Kenapa?” tanya Ibu.

“Karena Ayah tak pernah datang,” kataku sambil memandang langit-langit kamar.

“Ayahmu berjanji akan datang saat senja.”

“Sudah tak berbilang jumlah senja yang kita lalui, namun Ayah tak kunjung datang.”

“Ayahmu lelaki yang baik. Ia akan datang menepati janjinya.”

“Kenapa ayah menjanjikan datang saat senja? Kenapa tidak pagi atau siang?” aku terus mencecar Ibu.

“Karena senja bukan akhir, ia permulaan sebuah hari.”

Aku tak mengerti maksud perkataan Ibu.



Pada senja yang sepoi aku kembali mendapati Ibu duduk di teras rumah dengan sejuta harap yang terpancar dari sorot matanya. Aku memandang Ibu dari jauh. Kuurungkan niat duduk di sampingnya. Namun, saat akan masuk ke dalam rumah Ibu memanggilku.

“Duduklah di sini,” Ibu melambaikan tangan padaku.

Aku berbalik. Mendekati Ibu. Kutarik kursi di samping Ibu.

Hening sesaat. Sesekali telingaku menangkap hembusan nafas Ibu.

“Tidak rindukah kau pada Ayah?” tanya Ibu tiba-tiba.

“Rindu. Tapi dulu. Sekarang tidak lagi.”

Ibu memandang tajam padaku, “Kenapa?”

Tak ada jawaban lidah. Aku membuang pandang dari tatapan ibu. “Karena aku tak lagi menganggap Senja sebagai Ayahku, bagiku dia hanya lelaki yang hanya menitipkan sperma pada Ibu,” sahutku, tapi hanya kuucapkan dalam hati.

“Kau tak yakin Ayahmu akan datang?” Ibu mengejarku.

“Maaf Ibu, aku bahkan tak yakin Ayah masih ingat pada kita,” kataku takut-takut. Ada yang menggeliat di ulu hatiku. Entah apa namanya.

Mata Ibu melotot. “Kau tak akan bicara begitu saat kau dapati Ayahmu datang kala senja,” suara Ibu parau.

Aku menatap bola mata Ibu. Pandangan kami bertemu, sorot mata perempuan itu sekarang basah.

“Aku tak bermaksud menyakiti perasaan Ibu,” kataku.

Ibu tak menolehku. “Tinggalkan Ibu sendiri,” pintanya sembari mengusap mata basahnya.

Dengan langkah berat kutinggalkan beranda. Masuk ke dalam rumah.



***



Berbilang tahun sudah lewat. Aku sudah tak lagi tinggal bersama Ibu. Aku menetap di kota lain bekerja pada sebuah perusahaan. Ibu menolak ketika kuajak tinggal bersamaku.

“Ibu ingin menunggu Ayahmu di rumah ini setiap senja,” tolak Ibu ketika untuk kesekin kalinya aku membujuk ibu tinggal serumah denganku.

“Dimanapun itu kita akan menikmati senja yang sama,” sahutku.

Ibu menarik ujung bibirnya, membentuk sebuah senyum. Tapi mulutnya tak mengeluarkan suara.

“Ibu bisa menikmati senja bersamaku,” bujukku tanpa putus asa.

“Ibu hanya ingin menunggu Ayahmu di sini. Di rumah ini,” keras hati Ibu.

Akhirnya aku berangkat sendiri setelah tak berhasil membujuk Ibu. Sekali enam bulan aku pulang kampung menjenguk Ibu. Ibu masih seperti dulu. Menanti kehadiran Ayah saat senja. Kasihan Ibu. Penantian yang tak tahu ujungnya. Ibu perempuan setia. Masih menunggu Ayah meski tak ada kabar. Aku pernah menganjurkan agar Ibu mencari pengganti Ayah. Ibu marah besar kala itu. Ibu langsung berdiri di depanku, dan dengan suara yang keras menembus gendang telingaku Ibu membentak.

“Pakai otak!” katanya dengan suara meninggi.

Aku memandang Ibu tidak percaya.

Ibu melangkah, melewatiku, masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Sehari semalam Ibu tidak keluar kamar. Aku menunggu Ibu keluar dengan perasaan takut-takut.

Dalam menunggu itu aku melihat Ibu berdiri di depan pintu dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Kudekati Ibu.

“Ibu, maafkan aku,” kataku sembari memeluk tubuhnya.

Aku merasakan perlahan-lahan tangan Ibu melingkar di badanku. Ibu mengeratkan dekapannya. Kemudian tangan kanannya mengangkat wajahku.

“Ayah terlalu bersih. Ibu tidak mungkin menggantikannya dengan orang lain,” ucapnya.

Mendengar perkataan Ibu kristal bening mengalir di pipiku.

“Jangan lagi berpikir untuk mencari orang lain sebagai pengganti Ayah untuk Ibu. Karena Ibu yakin Ayahmu akan datang pada suatu senja,” pintanya.

Aku mengangguk. Sejak itu aku tak pernah lagi menyinggung tentang kehadiran lelaki lain untuk Ibu.



***

Setelah berbilang bulan tak pulang hari ini aku pulang menjenguk Ibu, sekaligus berniat meminta restu.

“Ibu, sekarang aku tak remaja lagi,” aku membuka pembicaraan.

“Lalu?” potong Ibu.

“Aku ingin menikah,” aku sengaja menggantungkan kalimat berharap Ibu menanggapi.

“Sudah ada calon?” tanya Ibu datar.

“Ya. Kami sudah lama saling kenal,” kataku hati-hati.

Ibu tak menyahut.

“Mohon restu dari Ibu,” lanjutku.

Diam yang dominan.

Aku memainkan ujung jilbabku.

“Tapi kau juga harus minta restu pada Senja, Ayahmu,” Ibu berkata tiba-tiba.

Aku melongo dengan ekspresi tak paham.

“Tinggallah beberapa waktu di sini. Ayahmu pasti datang,” yakin Ibu.

Aku mengikuti saran Ibu. Namun, berminggu-minggu senja itu lewat. Dan Ayah tak pernah datang menenuhi janjinya.

Masa cutiku sudah usai. Aku kembali ke kota tanpa mengantongi restu Ibu tentang pernikahanku. Saat akan meninggalkan rumah aku melihat Ibu masih menunggu Senja.***







Selasa, 19 Mei 2009

Sajak Anggota


Sujud Mayat
(Oktober, 2008)


Malam kini menatap
Pada sujud mayat
Matanya mengatup
Jiwanya kalah
melanglang pekat yang memekat

Tak sadar pikiran merayap
Mencabik khusu’ alas sujud yang membentang
Katanya pada malam, mari berburu pahala
Tapi si sajadah pun malu menatap tuan
Hati dan laku yang tak seiringan

Sujud itu milik si mayat
Bukan si renta yang berpaling dari realita
Tapi tetap saja ini bukan dosa
Hanya sujud ini milik si mayat

(Nafiah Alma'rab)


Info Prestasi FLP


INFO PRESTASI

Tahniah kepada rekan-rekan FLP Riau dan Pekanbaru atas prestasinya memenangkan lomba cipta karya sastra Universitas Lancang Kuning 12 Mei 2009, atas nama;

Bambang (Juara I menulis puisi kategori umum dan mahasiswa)
Ahmad Ijazi (Juara I menulis cerpen kategori umum dan mahasiswa)
Desi Somalia (Juara II menulis cerpen kategori umum dan mahasiswa)

Semoga prestasi yang dicapai menjadi penyemangat bagi kita untuk terus berkarya dan menorehkan tulisan-tulisan pencerahan yang bermanfaat.

Salam takzim- Humas FLP Riau


Kamis, 14 Mei 2009

Sajak Anggota


BATAS-BATAS KETAKUTAN

Kudekap waktu yang sekarat
Pejal usia yang mendekat
Dalam batas-batas ketakutan
Menghukum janji penghambaan
Ku kejar laut yang membiru
Agar tak dicuri masa petangku
Membungkus kisah indah di tepi pantai

Ah…dendang waktu rupanya uzur
Segalanya terlewat di subuh buta
Senja berlari dalam pilu
Janjiku padaNya tercecer
Aku di batas-batas ketakutan







Rabu, 06 Mei 2009

Artikel (I)


Bicara Soal Manfaat

Rangkaian kata demi kata ibarat nadi perubahan. Bukan sekedar tumpahan perasaan si penulis, tapi di sinilah penulis mampu menyelami kebutuhan dari para “pelanggan” tulisannya. Sehingga pada gilirannya tulisan yang lahir akan memberikan sesuatu hal yang berguna bagi para pembacanya. Sebuah manfaat jauh lebih berharga dari pada pengekspresi perasaan pribadi. Bicara soal manfaat, agak kontradiksi dengan pernyataan yang mengatakan tulisan telah lepas kendali dari penulisnya apabila telah dilempar kepublik. Dengan begini bisa dipastikan setiap penulis adalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan apa yang ditulisnya, dan sebuah keniscayaan pula faktor manfaat menjadi urusan ke seratus untuk dihadirkan.

Forum Lingkar Pena adalah komunitas yang tetap berusaha konsisten dengan upaya-upaya pencerahan. Melahirkan sebuah produk tulisan penuh manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Di sinilah para penulis dihimpun, tak sekedar pandai dan mahir teknik dalam menulis, tapi juga mengerti hakikat dan pentingnya setiap torehan mata pena seorang penulis.